Food for Thought: Ingin Kuliner Indonesia Maju? Bukan Chef Jawabannya

Chef punya bagian penting dalam promosi kuliner. Namun dalam pembangunan kuliner, mereka bukan yang paling penting. Jawabannya ada di pundak para intelektual, dan Indonesia krisis kehadiran mereka.

Dr. Ir. Wida Winarno, salah satu pakar gizi dan pangan Indonesia. Keluarga intelektual pangan tiga generasi.

Sebelum Rene Redzepi mendunia dengan restoran Noma, penulis Claus Meyer-lah yang lebih dahulu membangun fondasi melalui filosofi New Nordic Cuisine dan menginisiasi manifesto legendaris kuliner Skandinavia.

Sebelum Ferran Adria dikenal sebagai pionir gerakan modernist cuisine, duet fisikawan dan kimiawan Professor Herve This dan Professor Nicholas Kurti mencetuskan ilmu molecular gastronomy tahun 1988, inspirasi utama Ferran Adria dalam karirnya.

Penasaran mengapa lanskap restoran dan kuliner Australia sekarang sangat kuat dan mendunia reputasinya? Jawabannya ada pada sosok Hailey Bailie, jurnalis senior yang merancang kampanye internasional, Restaurant Australia di 2013.

Tiga contoh di atas hanyalah sedikit dari bagaimana kemajuan gastronomi sebuah negara – atau bahkan gerakan gastronomi yang mendunia – bukan dimulai dari seorang chef. Chef memang punya peran sebagai ujung tombak promosi ke ranah masyarakat populer. Namun kita harus tahu bahwa sering kali think tank di balik layar bukan datang dari para “diva dapur”, tapi datang dari pemikiran, ide, dan strategi para kaum intelektual dengan minat pada budaya makan dan minum, pangan, hingga sains.

Mereka para ilmuan, jurnalis, pemikir, akademisi, sering kali jarang disorot karena posisi mereka tidak seksi atau “kurang keren” untuk dijadikan bahan perbincangan. Namun mereka sebetulnya tidak peduli, karena motivasi dan kepuasan dalam diri mereka adalah bila melihat program atau penelitian yang telah digodog lama berbuah manis. Kemudian mereka akan kembali meramu. Indonesia pun juga harus berpikir ke arah sana. Melibatkan para intelektual dalam merancang program-program nasional secara komprehensif, sembari berkolaborasi dengan pelaku industri seperti chef, pemilik restoran, penyelenggara event, dan lain sebagainya.

Sebuah gerakan dan dampak memang membutuhkan waktu lama untuk digarap. Dibutuhkan pemikiran yang terstruktur, riset yang mempertimbangkan ragam variabel, memaparkan diri dengan banyak inspirasi riil dari lingkungan, serta membangun jaringan komunitas menjadi sebuah ekosistem. Kegiatan-kegiatan ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang chef yang notabene lebih dari 12 jam, selama hampir setiap hari, harus berada di dapur restoran. Saat restoran Chez Panisse di Berkeley Amerika Serikat buka tahun 1971, restoran tersebut tidak langsung menggapai popularitasnya sebagai sebuah ikon. Namun berkat kegigihan Alice Waters, pendiri Chez Panisse yang sejatinya adalah seorang aktivis dan ilmu akademik dalam intelektual budaya, Chez Panisse akhirnya membangun sebuah ekosistem secara perlahan yang saat itu tidak dilakukan oleh restoran lainnya di Amerika Serikat. Sistem yang melibatkan petani lokal, pelaku artisan rumahan, dan pengrajin untuk restorannya. Hal ini meluncurkan konsep yang dikenal sebagai farm-to-table movement. Tentu Alice Waters – walau bisa memasak – fokusnya ada pada hal-hal intelektual seperti di atas. Sementara untuk memimpin dapur ia serahkan pada Chef Jeremiah Tower.

Bahkan seorang Heston Blumenthal, sosok yang mempopulerkan modernist cuisine ke ranah publik dibandingkan Ferran Adria yang mempopulerkan ke ranah professional, mengatakan dalam wawancaranya bersama The Independent (2004), bahwa yang membuatnya menjadi chef dengan pendekatan yang dikenal publik global adalah buku berjudul “McGee on Food and Cooking: An Encyclopedia of Kitchen Science, History and Culture” karya Harold McGee, ilmuan pangan ternama dan dosen tamu regular Universitas Harvard dan Oxford. Bagi Heston, buku yang menggabungkan sejarah kuliner, antropologi sosial, dan sains kuliner ini telah mengubah caranya melihat sebuah makanan serta membentuk pendekatan yang ia tempuh dalam karirnya.

Thailand adalah salah satu negara yang sangat berhasil memajukan kuliner negaranya di ranah global sebelum era celebrity chef dan restoran dengan penghargaan berbintang. Walau pada tahun 1960-an hingga 1990-an pertumbuhan restoran Thailand di berbagai negara tumbuh signifikan atas dorongan popularitas Thailand sebagai destinasi wisata, barulah pada 2001 ketika Perdana Menteri Thaksin Sinawatra memimpin, salah satu inisiatif pertama yang ia keluarkan bersama kabinetnya adalah program Kitchen of The World, di mana di bawah payung itu juga terdapat dua program strategis bernama Thai Select (dengan fokus menduniakan bahan baku Thailand) dan Global Thai (dengan fokus menduniakan budaya kuliner Thailand). Sekali lagi, inisiatif tersebut diluncurkan bukan oleh chef, namun oleh seorang intelektual politik, diplomat ulung, yang paham bagaimana menggunakan makanan sebagai senjata diplomasi dan reputasi.

Kita mesti paham, bahwa tidak semua yang ada di permukaan adalah jawabannya. Bila ingin memajukan industri musik tentu bukan melibatkan hanya penampil, namun juga publisis dan produser. Begitu juga industri olahraga bukan terletak pada atletnya, namun pada manajemen tim serta komite di baliknya. Chef – sama seperti atlet dan penampil – merupakan ujung tombak promosi yang butuh didukung oleh infrastruktur intelektual yang kuat di belakangnya. Tidak bisa hanya melepas mereka tanpa struktur yang terarah. Maka dari itu mengapa Indonesia harus fokus melahirkan intelektual-intelektual baru yang dapat mendukung kemajuan gastronomi negeri, mulai dari bidang agrikultur, bidang kebijakan pangan, bidang kuliner kreatif, bidang ilmu sosial, hingga bidang diplomasi budaya kuliner.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Nasi Goreng: Masakan Sederhana yang Tak Semudah Kelihatannya

Next
Next

Pentingnya Kesadaran akan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Perbincangan dengan Chef Arnaud dari Herbivore