Laut dan Tradisi yang Membentuk Budaya Makan Kesennuma

Merasakan laut, tradisi, dan ketabahan yang membentuk wajah kuliner Kesennuma.

Foto oleh: Feastin’

Empat jam kami tempuh dengan kereta api dari ibu kota Jepang, Tokyo untuk mencapai Kesennuma di prefektur Miyagi. 

Meski Jakarta membentang di sekitar 662 km² dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa, Kesennuma hanya seluas 332 km² dengan kurang dari 60 ribu penduduk, menghadirkan kontras kepadatan yang mencolok antara megapolitan tempat kami berasal dengan kota pesisir yang tenang.

Saat menjejak Kesennuma, mata disambut laut biru yang luas, perbukitan hijau yang lembut, dan kota kecil yang bergerak perlahan, di mana setiap sudutnya menuturkan kisah warga yang teguh menghadapi gelombang dan bencana yang pernah melanda. 

Kehidupan sehari-hari warganya tak pernah lepas dari laut: sebagian besar menekuni perikanan, memanen hasil laut yang menjadi nadi ekonomi Kesennuma. Dari pasar ikan yang ramai dengan hasil tangkapan segar, hingga sentra pengolahan garam dan sake, setiap sudut Kesennuma mengundang pengunjung untuk merasakan denyut kehidupan kota pesisir ini secara langsung, mengawali petualangan kami dalam kuliner dan tradisi lokal.

Pasar Ikan: Jantung Kehidupan di Kesennuma

Hingar bingar di Pasar Ikan Kesennuma sudah dimulai sejak pukul satu dini hari. Pasar ini sempat lumpuh akibat tsunami setinggi enam meter pada tahun 2011, yang memaksanya berhenti beroperasi selama tiga bulan. Kini, denyutnya kembali hidup. Dengan panjang 850 meter, pasar ikan Kesennuma disebut hanya terpaut sedikit dari pasar ikan Ishinomaki yang meraih rekor Guinness World Records sebagai pasar ikan terpanjang di dunia dengan panjang 875 meter.

Di pintu masuk, kami bertemu dengan tour guide kami, bersama dua peserta tur lainnya. Ia lalu memimpin rombongan kecil kami menyusuri lorong demi lorong, memperlihatkan setiap sisi dari pasar ikan yang menjadi jantung ekonomi kota ini. 

Suasana pasar semakin terasa hidup ketika kami melihat langsung bagaimana ikan-ikan segar diturunkan dari kapal. Setiap kapal biasanya ditugaskan untuk menangkap jenis tertentu dengan peralatan berbeda. Dengan jaring besar, hasil tangkapan dibawa langsung ke dermaga, lalu dipilah berdasarkan jenis dan ukuran. Setelah itu, harga ditentukan dan dilelang. Menariknya, ikan-ikan di sini tidak hanya dipasok untuk Kesennuma, tetapi juga didistribusikan ke seluruh Jepang. Bahkan, ada pembeli yang datang langsung untuk mendapatkan ikan segar di tempat. 

Setiap pukul tujuh pagi, lonceng berbunyi sebagai tanda bahwa proses penetapan harga selesai, meski sering masih ada ikan yang menyusul. Kesibukan biasanya memuncak setiap Jumat karena banyak orang Jepang yang menyiapkan ikan untuk akhir pekan. Harga juga bisa melonjak, terutama saat momen khusus seperti festival Obon.

Bulan Agustus adalah puncak musim bonito. Dari pasar ini sendiri, Kesennuma tercatat sebagai penghasil tangkapan terbesar untuk katsuo (bonito), mekajiki (swordfish), dan hiu di seluruh Jepang. 

Ikan Erat Menjadi Santapan di Meja Makan

Saat matahari mulai meninggi dan perut mulai memberikan sinyal lapar, kami dibawa jalan sedikit keluar dari pasar ikan untuk sarapan di tempat dimana warga Kesennuma datang untuk sarapan. 

Di kompleks kecil berisi deretan restoran: mulai dari yang menyajikan masakan Meksiko hingga Indonesia, kami diajak ke sebuah tempat sederhana bernama Tsurukame Shokudo, yang sudah buka sejak pukul tujuh pagi. Ruang dalamnya tidak luas, sebagian besar berupa meja panjang yang langsung menghadap ke dapur. Kami akhirnya memilih duduk di luar, menanti santap pagi tersaji di meja. 

Hidangan yang ditunggu-tunggu adalah mekajiki kama, bagian rahang ikan pedang yang menjadi favorit banyak orang untuk mengawali hari.

Kami pun penasaran, mengapa di Kesennuma ada restoran Indonesia yang uniknya bernama Warung Mahal. Ternyata jawabannya sederhana: banyak nelayan sekaligus diaspora Indonesia yang bekerja di pasar ikan, sehingga cita rasa Nusantara pun ikut hadir di kota kecil ini. 

Sambil menikmati hidangan, tour guide kami bercerita tentang masa ketika warga Kesennuma sempat ‘kaget’ dengan hadirnya masakan Barat seperti hamburger. Namun gelombang itu tak bertahan lama; kini mereka kembali dekat dengan laut, lebih menghargai hasil ikan yang menjadi nadi kota. Banyak anak-anak sekolah bercita-cita menjadi nelayan seperti orang tua mereka, ingin tumbuh sebagai bagian dari ekosistem yang membuat Kesennuma bangga akan kekayaan boga baharinya.

Identitas Kota: Dari Maskot hingga Cangkir Kopi

Kesennuma bukan hanya dikenal lewat hasil lautnya. Kota ini bahkan punya maskot unik berupa seekor namako (timun laut) bernama Hoya Boya, simbol yang menggambarkan kedekatan warga dengan laut sekaligus keuletan mereka bertahan dari berbagai gelombang tantangan. Maskot ini kerap muncul dalam acara kota dan menjadi ikon yang melekat dalam identitas Kesennuma. Kami pun berkesempatan untuk mencicipinya di salah satu sesi santap malam, mungkin tampak asing bagi sebagian orang: teksturnya kenyal, sedikit licin, dengan cita rasa laut yang kuat. 

Menariknya, di tengah dominasi laut, tumbuh pula budaya ngopi yang cukup kental. Beberapa kafe lokal menghadirkan ruang hangat untuk berkumpul, beristirahat, atau sekadar menikmati secangkir kopi sambil memandang laut. Salah satunya adalah Cafe RST, sebuah tempat dengan atmosfer modern namun tetap menyatu dengan ritme kota pelabuhan. Di sini, kopi bukan hanya minuman, melainkan jembatan antara tradisi lokal dengan budaya global yang masuk perlahan ke Kesennuma.

Cafe RST dimiliki oleh Teraguchi, menyajikan beragam pilihan dari kopi hingga minuman populer seperti melon soda float dengan es krim berbahan susu segar dari peternakan sekitar Kesennuma. Yang menarik, Teraguchi juga memiliki kapal yang bisa disewa untuk berlayar, baik di siang hari maupun sore menjelang malam. Waktu terbaik tentu saat senja, ketika matahari perlahan tenggelam di balik teluk, menghadirkan pemandangan yang tak mudah dilupakan. 

Selain Cafe RST, kami juga sempat mampir ke Cafe K-port, sebuah tempat yang punya arti istimewa bagi warga Kesennuma. Dari luar, kafe ini tampak sederhana, namun begitu melangkah masuk, terasa hangat dari energi orang-orang yang datang silih berganti. K-port didirikan oleh aktor kenamaan Jepang, Ken Watanabe, tak lama setelah tsunami 2011 melanda. Ia ingin menghadirkan ruang bagi warga untuk kembali berkumpul dan mencicipi hidangan mulai dari tradisional hingga western. 

Perjalanan singkat kami di Kesennuma memperlihatkan bagaimana sebuah kota pesisir kecil bisa menyatukan laut, kuliner, dan budaya dengan begitu erat. Namun ada satu benang merah yang tak bisa dilepaskan: tsunami besar 2011. Bencana itu sempat meluluhlantakkan Kesennuma, merenggut bangunan, kapal, bahkan banyak nyawa. Tapi justru dari puing-puing itulah lahir kembali semangat untuk menjaga identitas kota: Kesennuma hari ini bukan hanya tentang laut yang biru dan ikan yang melimpah, tapi juga tentang ketabahan: cara sebuah kota bangkit dari gelombang, lalu menenun kembali kehidupannya lewat makanan, tradisi, dan kebersamaan.

Artikel ini merupakan advertorial kolaborasi Feastin’ dengan Visit Kesennuma. Kunjungi situs https://id.kesennuma-kanko.jp/ untuk informasi lebih lanjut mengenai wisata Kesennuma dan follow Instagram resmi Visit Kesennuma di @kesennuma.japan

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business Partnerships & Editorial Strategist di Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, ia selalu memulai hari dengan iced latte & tak pernah bisa menolak kelezatan hidangan Jepang.

Previous
Previous

Kuliner Kontemporer ala COMO Metropolitan Singapura

Next
Next

Resiliensi di Balik Perjalanan Tujuh Generasi Nelayan Oyster Kesennuma