Bumi dan Bara: Cerita dari Dapur Begawan Biji

Bagaimana setiap hidangan dengan penghormatan pada hasil bumi Begawan Biji, menjadikan tiap bahan sebagai bintang tanpa perlu banyak polesan.

Joshua Gardner dan Chef Andrew Fahludza dari Begawan Biji | Foto: Feastin’

Kami menempuh perjalanan sekitar 20 menit menuju kawasan Payangan, tempat Begawan Biji berdiri tenang di antara hijaunya alam Gianyar. Siang itu matahari bersinar terik, menyambut kami di sebuah area parkir yang sunyi. Sebuah buggy kosong telah menanti, siap mengantar kami menyusuri jalan menuju restoran dengan pemandangan kebun yang membentang luas.

Salah satu sisi perkebunan Begawan Biji | Foto: Feastin’

Chef Andrew Fahludza di tengah kebun Begawan Biji | Foto: Feastin’

Di sana, Chef Andrew Fahludza menyambut tim Feastin’ dengan senyum ramah, “Selamat datang di Begawan Biji!” sapanya. Kami sempat berbincang singkat di salah satu sudut restoran sebelum ia mengajak kami berkeliling kebun dan sawah bagian dari Begawan Biji, tempat sebagian besar bahan baku restoran ini ditanam dan dikembangkan, termasuk ayam yang telurnya digunakan untuk berbagai hidangan.

Evolusi Begawan Biji dari Foundation Menjadi Restoran

Perjalanan Begawan Biji dimulai awal 2022, saat para founder Begawan Foundation berinisiatif membuka cooking school untuk mengajarkan gizi dan menyediakan makanan bagi anak-anak di learning centre mereka di Payangan. Gagasan ini berkembang menjadi visi yang lebih besar: restoran destinasi di pedesaan Bali yang memberdayakan komunitas sekitar.

Arsitek Conchita Blanco merancang bangunan ini dengan semangat keberlanjutan, terinspirasi dari Wantilan sebagai bentuk arsitektur lokal. Ia mengangkat esensi Bali lewat material alami dan elemen tradisional yang disederhanakan, mulai dari kayu ulin 200 tahun asal Kalimantan, batu pasir Sumba, hingga bambu tersertifikasi dari Bali.

Chef Andrew Fahludza: Antara Dubai, Amerika Serikat, Indonesia dan Inspirasi Memasaknya

Saat menyusuri satu demi satu wilayah Begawan Biji, kami mendengarkan cerita bagaimana Chef Andrew tumbuh erat dengan masakan sang Ibu - inspirasi utama dari masakannya. “Saya lahir di Bali, Ibu saya asli Bogor sedangkan Bapak saya berasal dari Yogyakarta” bukanya. Ia pun mengungkapkan bagaimana ibunya, yang juga memiliki darah Manado sering memasak tak hanya hidangan Bali tapi juga hidangan dari provinsi lain, termasuk Brenebon yang menjadi salah satu hidangan yang diunggulkan di sini. Bagaimana Chef Andrew mengamati gerak-gerik sang Ibu di dapur ini menjadi cikal bakalnya untuk mulai bekerja di dapur profesional sejak usia belia saat tinggal di Colorado dan Utah, Amerika Serikat. 

Chef Andrew memandu tim Feastin’ tur mengelilingi Begawan Biji | Foto: Feastin’

Chef Andrew di kebun Begawan Biji | Foto: Feastin’

Ia pun berbagi tentang kariernya saat dia Dubai, dimana salah satunya, ia dimentori oleh Chef Antonio Mellino di restoran Quattro Passi yang meraih dua bintang Michelin — sembari memberikan penjelasan tentang apa saja yang tumbuh subur di Begawan Biji — mulai dari padi, buah, sayuran, rempah, jamur, hingga unggas, semuanya dibudidayakan tanpa secara alami. Begitu pula air yang digunakan pun telah melalui sistem filtrasi alami. Bagi Begawan, kualitas dan asal usul bahan bukan sekadar detail teknis, melainkan bagian penting dari pengalaman yang ingin mereka hadirkan kepada setiap tamu. “Salah satu pelajaran yang saya dapatkan yaitu untuk menumbuhkan rasa penasaran saya terhadap bahan baku” ungkapnya.

Dari Tanah, Api, Lalu ke Meja 

Selepas tur, kami duduk menghadap hamparan sawah yang ditanami beras Mansur seluas 3 hektar dan open kitchen yang memfokuskan pada teknik fire cooking, pengalaman makan yang rustic, di mana bahan-bahan dimasak perlahan di atas bara api untuk mengeluarkan rasa alami dan kelezatan alaminya. Dapur terbuka ini menjadi pusat restoran, memungkinkan kami menyaksikan langsung perjalanan makanan mereka: dari tanah, ke api, hingga ke meja. Menu yang disajikan memadukan cita rasa Indonesia dan Asia. 

Chef Andrew membawakan setiap hidangan dengan penghormatan pada hasil bumi Begawan Biji, menjadikan tiap bahan sebagai bintang tanpa perlu banyak polesan. Di balik itu, memang saat kami sedang tur, terlihat chemistry yang terjalin erat antara Chef Andrew dan para petugas di lapangan yang menunjukkan keterlibatannya sejak dari sumbernya langsung.

Beras Mansur, hasil bumi yang menjadi unggulan Begawan Biji | Foto: Feastin’

Kami memulai santap siang dengan salad dan lumpia. Hidangan lain diantaranya sate lilit, hangatnya semangkuk brenebon yang tentunya terinspirasi dari masakan sang Ibu, nasi goreng dengan beras Mansur tentunya patut dicoba, dengan tekstur yang unik dan mengingatkan pada beras arborio, hingga dessert salah satunya Begawan Giri Honey dengan mousse berbahan baku lemon, es krim, dan madu. Semua bermuara ke bagaimana filosofi memasak Chef Andrew yang ingin menonjolkan setiap bahan baku.. 

Kami pun cukup beruntung untuk menyaksikan maskot Begawan Biji, Bali starling yang terbang menyusuri kawasan. “Burung ini enggak selalu ada” ungkap Chef Andrew sambil menatap Bali Starling yang melintas di sawah. 

Begawan Biji pun saat ini mulai aktif untuk menghadirkan kolaborasi bertajuk four-hands dining series “From Sawah to the Sea” dengan restoran lain di Bali, salah satunya adalah kolaborasi dengan Chef Tomy Saputra asal Long Table by John Hardy akhir pekan lalu (25-26 Juli). Untuk pekan depan, kolaborasi hadir di Begawan Biji dan akan dilanjutkan pada 8-9 Agustus di Long Table by John Hardy di Seminyak. 

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business Partnerships & Editorial Strategist di Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, ia selalu memulai hari dengan iced latte & tak pernah bisa menolak kelezatan hidangan Jepang.

Previous
Previous

Resiliensi di Balik Perjalanan Tujuh Generasi Nelayan Oyster Kesennuma

Next
Next

Flames of Flavor at Capella Ubud