Flames of Flavor at Capella Ubud

 Menggugah, mengesankan, menyenangkan, duet Arvie Delvo dan Maxie Millian di restoran Api Jiwa mengingatkan bagaimana seharusnya kolaborasi antar chef  dirancang.

Jalan menuju Api Jiwa, Capella Ubud.

Sore itu langit Ubud hampir legam. Anginnya dingin, bertiup kencang membawa aroma petrichor yang pekat. Kami sampai tepat waktu seiring awan menghitam di kepala kami, menggulung layaknya deburan ombak di langit. Resort tempat kami berada sekarang bukanlah berdinding marmer, berlantai batu kapur, atau beratapkan lampu kristal. Capella Ubud bak lahir dari imajinasi seorang petualang aristokrat, ketika safari bertemu corak etnis. Letaknya sekitar dua puluh menit di utara desa Ubud, Capella didesain oleh Bill Bainsley, menyambut tamu yang menginginkan nuansa berbeda dari konsep resort Bali kebanyakan. Di jantung Capella Ubud adalah Api Jiwa, restoran yang mengdepankan teknik masakan wood-fire, api, sebagai ruhnya. Itulah destinasi kami.

Hujan mulai turun, gemuruh sesekali terdengar di langit. Langkah kaki kami mengikuti batuan yang tersebar mengubungkan seluruh kawasan. Dengan payung, kami menerobos hujan dengan angin yang semakin dingin, melalui pepohonan layaknya hutan gunung menuju Api Jiwa. Suasananya magis, bikin jantung berdebar dan memancing jiwa berpetualang terliar kami. Dari kejauhan, sebuah bangunan kayu terang berdiri di bukit. Cahaya di ujung lorong, akhirnya tiba di Api Jiwa. Sudah lama kami ingin mampir ke sini, ke restoran berkapasitas tak lebih dari 20 orang, dengan open kitchen dan counter sebagai pusatnya. Walau udara malam ini dingin, suasana Api Jiwa justru semarak menghangatkan, terutama karena tawa yang keluar dari Chef Arvie Delvo dan Chef Maxie Millian yang berduet khusus malam ini. Chef Arvie Delvo adalah executive chef, sang kapten yang menahkodai kuliner Capella Ubud. Sementara Chef Maxie Millian merupakan individu yang tidak asing lagi dalam lanskap kuliner Indonesia kontemporer.

Kami, para tamu, duduk menghadap para chefs yang beraksi seru di dapur. Chemistry antar mereka kuat, menjadi jaminan bahwa santapan yang akan kami terima bakal berkesan. Makanan dibuka dengan hidangan tuna tar-tar dengan mutiara sago yang dibuat seperti ikura, disajikan dengan wasabi, dan jeruk nipis. Makan dengan kerupuk tapioca agak bertambah teksturnya. Lalu diikuti dengan tuna, yang diasap menggunakan gerabah (warayaki), gaya Jepang klasik, memunculkan aroma asap yang sedap dan grassy, tidak seperti diasap dengan kayu. Hanya diberi garam sedikit, lalu wasabi, sudah sedap rasanya. Perayaan seafood memang kuat di Api Jiwa, oyster datang dengan saus mignonette dan cuko gaya Palembang; kepiting Borneo disajikan bersama acar timun dan yuzu kosho; serta scallop dengan andaliman serta saus gastrique asam manis yang diambil esensinya dari kuah nainura khas Batak. Dari situ perjalanan berlanjut di Api Jiwa, dengan chicken wing yang memantik nostalgia masa kecil saat menyantap sayap ayam isi di restoran Jepang anak-anak. Namun yang dibuat oleh Chef Delvo ini versi gourmet, ketika sayap ayam diisi segala yang sedap, dengan kecombrang, juga abon yang dibuat sendiri, dibakar hingga kulit berlapis saus manis gurih terkaramelisasi.

Kami tak berhenti tersenyum, karena makanan yang datang dari tadi saling mengisi dan memperkuat konsep. Yang setelahnya menegaskan yang sebelumnya; yang sebelumnya jadi landasan untuk yang setelahnya, layaknya nada dalam canon paduan suara yang bergairah. Jarang kami rasakan konsep four-hands dinner yang melebur menjadi satu kesatuan. Kebanyakan, konsep ini adalah ajang mempertunjukkan signature dish masing-masing chef, sehingga bagi kami lebih terasa seperti mencicipi ego dari pada sinergi. Namun tidak malam ini. Semua makanan seperti telah dipikirkan bersama, secara matang, dan saling melengkapi. Memantik kegirangan yang didasari rasa penasaran akan apa yang bakal kami santap selanjutnya.

Tinutuan – sebuah tribute untuk Minahasa – disajikan oleh chef Maxie secara tepat. Disusul dengan palate cleanser berupa granita dari serai dan limau, cukup untuk menyejukkan dan mempersiapkan lidah kami menuju dua santapan utama: bebek dengan roasted koji dan jamur wood ear, serta beef kamameshi yang disajikan dengan heritage rice. Seiring malam makin larut, hujan deras mereda. Namun, tetesan air masih turun dari langit, tipis dan merdu. Aroma dan hutan terasa pekat, membuat malam makin sakral. Seiring kami pulang, melangkahkan kaki menapaki bebatuan basah menuju mobil, saya terpikir satu hal: Bila Jules Verne menulis novel voyages extraordinaire tentang makanan, maka Apa Jiwa di Capella Ubud akan jadi latar sempurna.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Bumi dan Bara: Cerita dari Dapur Begawan Biji

Next
Next

Kolaborasi Sedap Chef Tam’s Seasons & Ling Long