Refleksi dari Ubud Food Festival 2025: Sebuah Perjalanan Rasa dan Makna
Catatan Sharima Umaya, Editorial Head dan Business Partnerships Feastin’ tentang perayaan rasa, budaya, dan kebanggaan Indonesia yang menggema ke penjuru dunia di Ubud.
Saya sudah sering mendengar tentang riuhnya Ubud saat Ubud Food Festival (UFF) berlangsung. Bagaimana Ubud yang biasanya tenang dan kontemplatif mendadak berubah menjadi panggung selebrasi rasa. Namun, hadir langsung di tengah-tengahnya bersama rekan saya di Feastin’, Kevindra Soemantri, adalah pengalaman yang melampaui ekspektasi pribadi maupun profesional saya.
Sejak pertama kali digelar pada 2015, UFF bukan sekadar soal makanan. Festival ini adalah ruang kolektif di mana kebanggaan terhadap kuliner Indonesia menggema dalam berbagai bahasa, budaya, dan selera. Dan bagi kami di Feastin’, ini adalah pengingat bahwa cerita kuliner Indonesia layak dibawa melampaui batas geografis dan algoritma media sosial.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat Ubud Food Festival begitu spesial?
Membuka Cakwawala Baru
Tinggal terlalu lama di satu lingkungan bisa membentuk cara pandang yang sempit tanpa kita sadari. Di UFF, kami bertemu dengan sosok-sosok dari berbagai latar belakang yang membawa perspektif segar: Dari kearifan pangan lokal hingga diplomasi kuliner lintas negara. Mengikuti diskusi dengan pikiran terbuka memperluas pemahaman saya terhadap topik-topik yang semula terasa familiar, namun ternyata masih menyimpan banyak sudut pandang baru.
Sebagai media, momen-momen ini mempertegas posisi kami di Feastin’: bahwa tugas kami bukan hanya melaporkan, tapi mengamplifikasi. Mengangkat cerita lokal agar terdengar secara nasional, bahkan global.
Tempat Menemukan Talenta Baru di Dunia Kuliner
Sepanjang UFF, kami mengikuti berbagai sesi, mulai dari talkshow hingga makan malam spesial yang dikurasi khusus untuk festival tahun ini.
Kami berkesempatan untuk menghadiri kolaborasi antara Chef Bayu Retno Timur dari Mandapa, a Ritz-Carlton Reserve, dan legenda kuliner Indonesia, Ibu Sisca Soewitomo. Bersama, mereka menyajikan santapan malam bergaya family-style di Sawah Terrace yang menghidangkan ragam kuliner Nusantara dari berbagai provinsi, dalam harmoni dua generasi chef yang berbeda zaman namun seirama dalam visi.
Kami juga menyaksikan kecermatan Chef Arvie Delvo, kepala koki Api Jiwa, Capella Ubud, yang berakar pada Japanese cuisine, dalam memadukan berbagai bahan lokal dengan sentuhan Jepang. Ia berduet dengan Chef Maxie Millian yang baru saja ditunjuk sebagai Head Chef di KAUM Restaurant Bali — sebuah momen yang menjadi reuni hangat, mengingat mereka pernah bekerja bersama di Dubai beberapa tahun silam.
Melalui festival ini, kami terekspos pada begitu banyak nama, wajah, dan karya yang belum pernah kami temui sebelumnya. Dari pengalaman ini, kami menyadari: begitu luas lanskap kuliner Indonesia yang belum sepenuhnya terekspos, dan kami di Feastin’ ingin menjadi jembatan narasinya.
Melihat Indonesia dari Mata Dunia
Saya pribadi yang lahir dan besar di Jakarta, seringkali merasa apa yang ingin saya bahas terlalu terbatas akan Jakarta. Referensi saya pun lebih sering berkiblat ke media kuliner internasional, khususnya dari Amerika Serikat.
Namun di Ubud Food Festival, saya dihadapkan pada lanskap yang jauh lebih luas. Festival ini menantang saya untuk keluar dari batas geografis dan melihat kuliner Indonesia dari sudut pandang global. Dalam salah satu sesi makan malam di KU Culinary Atelier — sebuah venue intim di dalam Syrco BASE, Ubud — kami menyaksikan kolaborasi antara Chef Syrco Bakker dan Chef Kevin Wong dari restoran berbintang Michelin asal Singapura, Seroja. Hidangan demi hidangan disajikan sebagai representasi visi kuliner masing-masing chef, selain hidangan yang disajikan, hal yang tak kalah menarik pun datang dari perbincangan dengan para tamu.
Kami berbincang dengan peserta dari berbagai negara. Beberapa datang dari Uni Emirat Arab dan Eropa, yang secara khusus terbang ke Bali hanya untuk menghadiri UFF.
“Asia saat ini jauh lebih menarik ketimbang Eropa bagi saya. Khususnya, Indonesia,” ujar salah satu peserta dengan mata berbinar. “Setiap kali saya mencoba kuliner dari provinsi yang berbeda, spektrum rasanya tak pernah sama.”
Sementara itu, seorang peserta lainnya bercerita tentang perjalanannya selama dua minggu keliling Italia, Swiss, dan Perancis, mencicipi restoran berbintang Michelin setiap harinya. “Kuliner Indonesia sangat under-appreciated,” ujarnya sambil meneguk segelas wine.
Momen-momen ini membuat saya sadar: dunia sudah menunggu: Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan rasa yang luar biasa, tapi juga audiens global yang siap dan haus untuk mengenalnya lebih jauh.
Panggung untuk Cerita-Cerita Lokal yang Mendunia
Di balik kehadiran nama-nama besar yang diundang UFF, sebut saja Susan Jung, penulis Kung Pao and Beyond dan kolumnis Vogue Hong Kong, serta Chef Kim Hock Su dari Restaurant Au Jardin di Penang yang baru saja debut di daftar Asia’s 50 Best Restaurants; ada denyut yang justru paling menggugah: bagaimana UFF memberikan panggung yang setara bagi talenta kuliner dari berbagai penjuru Indonesia.
Kami menyaksikan sendiri bagaimana suara dan rasa dari daerah-daerah di luar Jakarta tampil begitu kuat dan memikat. Dick Derian founder Locaāhands, misalnya, membawakan perspektif industri kuliner Surabaya dengan energi dan visi yang segar. Dari Bandung, Joongla dengan gaya khasnya yang playful dan penuh semangat mengisi empat sesi, mulai dari talkshow, workshop, hingga dinner event.
Dari tanah Sumatera, kami mengenal Laurencia De Richo dan Ahmad Fadhil Marta asal Sumatera Barat, masing-masing mewakili Unikayo dan Home of Kawa serta Bora Soda. Keduanya membawa cerita dan rasa Minang yang tak hanya mengundang rasa kagum, tapi juga mengubah cara kami memandang potensi kuliner dari tanah kelahiran mereka.
Festival ini mengingatkan kami bahwa masih banyak kisah yang belum kami gali. Dan sebagai media, kami punya tanggung jawab untuk membuka ruang bagi Locaahands, Joongla, dan inisiatif lain yang sejenis.
Kami pulang dari Ubud dengan hati yang penuh, pemikiran yang terbuka, dan semangat yang menyala. Bukan hanya karena hidangan yang kami cicipi, tetapi karena cerita-cerita yang kami bawa pulang. Bagi kami di Feastin’, Ubud Food Festival bukan hanya tempat belajar atau meliput… ia adalah konfirmasi untuk meneruskan perjalanan kami sebagai media kuliner untuk mendengarkan lebih dalam, melihat lebih luas, dan terus memberikan panggung untuk berbagai sosok di dunia kuliner.
Cerita kuliner tak akan pernah habis, dan kami di Feastin’ akan terus mencarinya dan menuliskannya.