Kindling, Ruang Interpretasi Vallian Gunawan akan Rasa dan Memori
Perpaduan rasa, memori, dan kehangatan rumah persembahan Chef Vallian Gunawan dan BIKO Group
Menjelang akhir 2024, bara api kecil menyala dari dalam sebuah rumah tua di jantung Cikini. Rumah warisan mendiang Atjoem Kasoem, yang telah berdiri sejak awal abad ke-20, kini bertransformasi menjadi ruang baru bagi chef muda Vallian Gunawan dan menjadi babak baru bagi BIKO Group dalam menjajaki dunia fine casual dining.
Di usianya yang nyaris enam bulan, api semangat Kindling kian membara. Tak butuh waktu lama bagi restoran ini untuk memikat banyak orang lewat interpretasi harmonis antara ruang dan rasa oleh Chef Vallian dan Mikael Mirdad, pendiri BIKO Group — mengajak para pengunjung menikmati setiap detik pengalaman bersantap yang dirancang dengan intensi dan kehangatan sebuah rumah. Kindling pun hadir di saat yang tepat menjadi ‘ruang’ bagi para penikmat kuliner dengan apresiasi semakin mendalam untuk fine cuisine.
Makanan-Makanan yang Membentuk Rasa Vallian Sejak Dini
Masa kecil Vallian Gunawan dipenuhi aroma dapur dan semangat gotong royong dalam keluarga Tionghoa asal Medan tempat ia tumbuh. Ibunya gemar memasak, begitu pula kedua neneknya. Sang ayah pun punya satu menu andalan: chili crab. “Itu saja yang dia masak” kenang Vallian, tersenyum kecil.
Setiap perayaan besar seperti Imlek atau Festival Musim Gugur menjadi momen istimewa yang tak hanya soal makanan, tetapi juga kebersamaan keluarga: Sehari sebelumnya, rumah sudah ramai dengan suara dan aroma masakan sejak subuh. Seluruh anggota keluarga, mulai dari sepupu hingga paman dan bibinya, ikut serta menyiapkan hidangan untuk makan siang bersama. Antisipasi dan kegembiraan itu yang membentuk cara Vallian memandang makanan — bukan sekadar rasa, tetapi sebagai momen mengikat keluarga. Di meja makan, tersaji ayam rebus, ikan kukus, babi kecap, hingga satu hidangan penuh kenangan bernama saiyo chay — rebusan sayur dengan tekstur encer berisi jamur, kentang, tahu, kulit tahu kering, dan bihun, dibumbui cabai dan tauco.
Vallian juga tumbuh dengan kudapan khas Teochew buatan sang nenek, seperti Kuih Ku, kue kukus dengan kulit dari tepung ketan berwarna merah muda. “Ada yang asin diisi lobak dan wortel tumis, ada juga yang manis berisi kacang dan gula,” ujarnya. Kue itu dicetak menggunakan cetakan kayu berukir, lalu dikukus hingga matang — simbol keterampilan dan cinta yang diwariskan turun-temurun.
Namun masa kecilnya tidak hanya soal tradisi rumah. Ia juga akrab dengan jajanan pinggir jalan khas Medan — mulai dari sate Padang, lontong, hingga aneka gorengan di depan warnet dekat sekolahnya. Perpaduan antara cita rasa keluarga Peranakan dan ragam kuliner Sumatra ini menjadi fondasi awal dalam perjalanan rasa Vallian.
Dari Hawker Sederhana hingga Restoran Berbintang Michelin di Singapura
Sebelum menekuni dunia kuliner secara profesional, Vallian sempat bekerja paruh waktu di sebuah hawker center di Singapura. Juru masak di hawker tersebut menjadi salah satu sosok yang menginspirasinya untuk mengeksplor dunia kuliner.
Ia akhirnya memilih program Food & Beverage Business di politeknik. Awalnya, Vallian berpikir untuk bekerja di perusahaan makanan besar, akan tetapi, titik baliknya terjadi saat magang di restoran Prancis ternama yang membuka cabang di Singapura. Di dapur itu, ia mengenal bahan-bahan yang belum pernah ia lihat atau cicipi sebelumnya — pengalaman yang membuka matanya akan luasnya dunia rasa. “Di dapur itu, banyak yang datang dari berbagai negara: India, Hungaria, Korea, Malaysia, bahkan Portugal,” kata Vallian. “Tapi justru di situ saya merasa cocok.”
Perjalanan membawanya ke berbagai dapur profesional di luar negeri, di mana ia harus bertahan hidup tanpa dukungan langsung dari keluarga. “Saya harus bayar sewa sendiri, kerja ekstra supaya enggak dipecat, dan belajar dari nol,” ujarnya. “Awalnya saya bahkan enggak tahu rasa boeuf bourguignon atau asparagus putih itu seperti apa,” katanya. “Tapi dari situ saya belajar menghargai bahan, musim, dan tradisi kuliner yang berbeda.”
Pulang ke Indonesia: Menapaki Jejak dari Bali hingga Membuka Kindling
Setelah berkarier di luar negeri, ia kembali ke Indonesia, sempat menetap di Bali bekerja di beberapa restoran ternama seperti Aperitif Restaurant di Ubud serta SKOOL Kitchen di Canggu, dan akhirnya membuka Kindling di Jakarta. Di sini, ia menilai tantangannya berbeda: tim dapur yang seluruhnya orang Indonesia, dengan budaya kerja yang tak seberagam tempat-tempat sebelumnya. “Enggak buruk, enggak juga lebih baik. Hanya saja berbeda,” ujarnya. Ia pun beradaptasi dan mulai membentuk budaya baru di dapur miliknya — yang tidak hanya soal teknik dan rasa, tapi juga soal kebersamaan.
Ketika merancang Kindling, Vallian menyadari ada satu kekosongan yang ingin ia isi dalam lanskap kuliner Jakarta. Setelah bertahun-tahun bekerja di restoran dengan pendekatan high-end dan fine dining, ia melihat banyak restoran yang menyajikan makanan dengan teknik luar biasa, tetapi tak semua terasa dekat dengan lidah atau emosi masyarakat lokal. “Saya ingin bikin restoran yang tekniknya tetap sophisticated, tapi rasanya relatable, bisa dimengerti, bukan yang terlalu intimidating.”
Kehangatan Bersantap di Kindling
Pengalaman bersantap di Kindling dirancang untuk membangkitkan rasa yang familiar serta suasana bersantap intim layaknya di rumah sendiri. Mulai dari amuse bouche yang disajikan di ruang tamu, main course dan dessert di main dining room, hingga ditutup dengan petit four yang dinikmati di library yang berpadu serasi dengan bar. Pengalaman Vallian di dapur-dapur fine dining bergaya Perancis membentuk pendekatannya yang penuh presisi — dari keterampilan memasak yang terlatih, pemilihan bahan baku yang cermat, hingga perancangan rasa yang tidak hanya seimbang, tapi juga bermakna.
Salah satu amuse bouche, ‘Turnip Cake’ mengingatkan akan choipan dari gigitan pertama, menunjukkan bagaimana teknik yang telah disempurnakan bertahun-tahun berpadu dengan cita rasa yang familiar, sebagaimana Vallian mendeskripsikan bagaimana apa yang ia ingin tamu-tamu di Kindling rasakan saat menyantap kreasinya. ‘Chicken Liver’ melambangkan perpaduan klasik antara hati ayam dan apel yang dipadankan dengan mulberry dalam bentuk gel sehingga tercipta keseimbangan rasa dan intensitas hati ayam jadi tidak terlalu mendominasi.
Di main dining room yang berpusatkan di kitchen, sembari menanti hidangan, pengunjung dapat mengamati gerak-gerik tim kitchen yang dinamis. Tak banyak bicara, tapi kerja sama mereka terasa padu, seolah diikat oleh bahasa yang hanya dipahami lewat rasa. Satu demi satu, piring diantar ke meja. Beberapa hidangan yang tersaji diantaranya mulai dari ‘Crab Custard’ yang lembut dan membawa cita rasa laut yang dalam, namun tak berlebihan, sangat menyatu ketika disuapkan bersamaan dengan bafun uni dan jamur tremella. ‘Roasted Kinmedai’ mempertegas identitas Kindling yang memadukan cita rasa Asia dengan teknik memasak Perancis. Siapa sangka beurre blanc — saus klasik Perancis — dapat berpadu begitu harmonis dengan seaweed? Kinmedai dipanggang dengan presisi: bagian luar garing keemasan, sementara daging ikan di dalam tetap lembut dan juicy.
‘Glazed Brioche’ dengan brioche yang diproduksi oleh Braud memiliki tekstur yang lembut dengan layer luar yang terkaramelisasi dengan baik. Cultured butter yang dibuat untuk menemani brioche, di infuse dengan kulit jeruk alhasil menghasilkan kontras yang menyegarkan dengan rasa brioche yang sedikit manis. Salah satu hal menarik dari Kindling adalah bagaimana Vallian tidak mengubah menu secara total setiap beberapa bulan, melainkan terus melakukan riset dengan mengubah elemen-elemen kecil dalam satu hidangan. Contohnya pada menu main course ‘Slow-Roasted Duck’ yang disajikan bersama kabocha pumpkin dan telur asin.
‘Paofan’ di sini menjadi jembatan hangat sebelum penutup, menyuguhkan menghidupkan kenangan masa kecil yang tak terlupakan. Nasi yang dimasak perlahan dalam kaldu diselimuti topping yang bisa berubah sesuai ketersediaan bahan, kali ini hadir dengan amaebi, fish maw, dan ginkgo nuts. Kejutan tekstur datang dari puffed rice yang menambah renyah ringan di setiap suapan. Dessert serta petit four yang tersaji di meja dibuat oleh pastry chef Kindling, Valencia Antika memiliki keselarasan dengan hidangan-hidangan yang sebelumnya: Perpaduan bahan baku Asia dengan teknik memasak Perancis yang elegan. Sebut saja ‘Earl Grey’ dengan jeruk mandarin serta kumquat dan ‘Sunchoke’ dengan soy caramel dan buckwheat. Di deretan petit four, ‘Brown Butter Madeleine’ dengan yuzu dan lime atau ‘Sour Plum Pate de Fruit’ dengan chili sugar membuktikan bahwa dessert tak selalu harus menggunakan elemen cokelat, vanilla, strawberry, atau matcha yang kini kerap mendominasi.
Kindling hadir bukan hanya sebagai tempat makan. Ia menyebut, pengalaman membangun Kindling sangat personal dan penuh refleksi. Dari menyusun menu, membangun tim, hingga mendesain arus kerja di dapur, semua ia lakukan dengan mengingat bagaimana rasanya menjadi “orang baru” di dapur orang lain. Bagi Vallian dan tim Kindling, kesuksesan tak diukur dari sekadar penuh atau tidaknya meja. Sukses baginya ketika para tamu pulang dengan hati senang, perut kenyang, dan memori yang membekas. Lebih dari itu, saat tim dapur tumbuh, berkembang, dan menemukan jalan mereka sendiri — itulah bentuk kesuksesan yang tak ternilai.