Selamat Tinggal Era "Celebrity Chef", Selamat Datang Era "Chef Custodian"

Sosok chef sebagai bintang panggung sudah masuk senjakala. Namun di sisi lain, terbit generasi baru chef dengan misi menjaga serta mengolah warisan budaya.

Sejak munculnya stasiun televisi, chef tak luput dari lampu sorot. Apalagi ketika media majalah dan tabloid bertema makanan merajalela sejak 1980-an. Amerika Serikat, Inggris, Hong Kong, sampai Indonesia mengenal sosok-sosok juru masak yang tak hanya jago meramu makanan, namun juga cerdas tampil di depan kamera. Food Network, Bon Appetit, Aroma, Sajian Sedap, Masterchef, Top Chef, Allez Cuisine, Asian Food Channel, Good Food, media multiplatform tersebut meroketkan para chef sebagai sosok selebritas. Dengan buku masakan best-seller, lisensi perlengkapan dapur dengan nama mereka, hingga puluhan cabang restoran global.

Ya, masa-masa tersebut adalah era keemasan koki selebritas, menampilkan mereka sebagai pemandu acara, sembari wajah tertawa dan tangan mengaduk saus. Pergeseran mulai terjadi ketika film dokumenter Jiro Dreams of Sushi diluncurkan, menunjukkan sisi lain chef yang sering terlupakan: Yaitu dedikasi dalam menjaga warisan makanan. Perspektif tersebut mendorong diluncurkannya lagi dokumenter seri fenomenal di kanal Netflix, Chef's Table. Dalam tiap episodenya, cerita diisi dengan jatuh bangun mereka dalam karir, serta budaya yang justru menjadi elemen penting di dalamnya.

Lebih dari satu dekade sejak seri Chef's Table diluncurkan, terjadi pergerakan dalam dunia dapur, khususnya dapur restoran yang selalu dilihat sebagai the beacon of gastronomic movement. Chef mulai merasa gelisah, terutama chef di luar Dunia Barat. Mereka dilatih bertahun-tahun umumnya di bawah prinsip gastronomi Perancis, mengasah pisau di bawah restoran berbintang Michelin. Namun mereka belum sepenuhnya menjadi diri mereka sendiri, karena makanan yang dimasak bukanlah makanan dari budaya asli di mana darah mereka mengalir, di mana mereka tumbuh dari kecil dengan masakan nenek dan ibu.

Kegelisahan umumnya mendorong lahirnya sebuah revolusi pemikiran. Dan bagi banyak chef, itu berarti kembali memasak makanan budaya mereka, bukan lagi memasak budaya kuliner orang lain. Setelah bertahun-tahun memasak di dapur berbagai restoran Eropa di New York, Jungsik Yim mendirikan restoran pertamanya yaitu Jungsik di Seoul dengan basis masakan Korea kontemporer; Kwame Onwuachi menemukan jati dirinya kembali pasca berkarir di Per Se dan Eleven Madison Park, dengan mendirikan Tatiana, restoran dengan masakan asal usulnya yaitu Afrika Karibia; atau Pratheek Sadhu yang melahap ilmu fine dining di French Laundry, Le Bernardin, Noma, namun kembali ke India dan mendirikan Masque (sebelum kemudian mendirikan Naar dengan visi mengedepankan bahan baku asli Pegunungan Himalaya).

Gerakan chef yang mengedepankan masakan nasional dan bahan baku kampung halaman juga terjadi di Indonesia. Jovan Koraag lama berkecimpung di masakan Italia dan Mediterania, namun ketika Ia mendirikan Mata Karanjang berbasis kuliner Manado dengan pendekatan lebih modern, kreasinya menggemparkan Jakarta. Ia memperkenalkan konsumen modern Jakarta pada bahan baku seperti ikan mujair Sulawesi (yang punya daging sangat manis) serta minuman lemon cui dengan gula kelapa asli Minahasa. Ada pula Wayan Kresna, sosok yang pernah bekerja di bawah Dan Barber di Blue Hill at Stone Barns, membawa masakan khas Nusa Penida dalam restoran Home by Chef Wayan.

Dari Jungsik Yim, Jovan Koorag, Wayan Kresna, Kwame Onwuachi, hingga Pratheek Sadhu, mereka memiliki satu kesamaan: Mereka adalah bagian dari gerakan chef custodian yang sedang bangkit. Mereka tak hanya membawa cita rasa kultural dalam menu, tapi juga memberikan panggung bagi gastronomi kampung halaman untuk jadi bintang utama. Orang banyak tentu mengenal mereka. Namun berbeda dengan celebrity chef yang lebih dikenal karena persona pribadi, para chef custodian justru terkenal karena idealisme berbasis culinary heritage di restoran yang mereka nahkodai. Ada yang hadir dengan pendekatan refined traditional seperti Mata Karanjang dan Home by Chef Wayan; ada yang muncul dengan genre modern inspiration seperti Tatiana; ada pula pendekatan kontemporer seperti Jungsik dan Naar. Para chef custodian melihat restoran bukan hanya sebagai tempat mereka menunjukkan keterampilan gastronomi, namun sebagai institusi di mana budaya kuliner mengalami preservasi dan inovasi di waktu yang sama.

Mereka mengambil inspirasi dari berbagai spektrum budaya kuliner lokal. Dari cara memasak, bahan baku musiman, cita rasa, sampai alat makan dan cara menikmatinya. Mereka, para chef custodian, mendokumentasikan khazanah kuliner itu dalam catatan mereka, dalam bumbu baru yang diracik di dapur modern, di piring yang tersaji, hingga dalam bentuk menu tertulis yang dibagikan pada tamu dan diceritakan oleh tim pramusaji. Mereka membawa budaya kuliner asal yang tadinya cenderung stagnan serta rentan punah, ke dalam platform baru yang segar. Apabila mereka beruntung, penerbit internasional akan mendekati mereka untuk membagi pada dunia warisan rasa yang mereka telah jaga, telah mereka inovasi, dan dicintai oleh konsumen mereka, seperti Wayan Kresna dengan buku PAON dan Jungsik Yim dengan buku The Korean Cookbook, melengkapi siklus preservasi budaya makanan.

Sudah waktunya Indonesia membuka pintu untuk kedatangan para “Auguste Soesastro dan Eko Supriyantono” kuliner, individu-individu yang membawa tongkat estafet khazanah gastronomi Indonesia menuju masa depan, tetap lestari dalam warnanya sendiri, serta relevan dengan konsep Keindonesiaan di masa mendatang.

Next
Next

Meja Terhangat di Jawa: 60 Tahun Bu Ugi Menjamu