Meja Terhangat di Jawa: 60 Tahun Bu Ugi Menjamu
Kunjungan ke legenda kuliner Tawangmangu, tempat di mana keramahan masih dibuat dengan tangan sendiri.
Potret Bu Ugi | Foto oleh: Valensia Harumi Edgina
Cuaca dingin begini, rasanya ingin yang hangat. Sup, tentu saja, menjadi penghangat yang paling jitu.
Memori pun melompat ke perjalananku bulan lalu ke Jawa Tengah. Matahari sebenarnya tak malu-malu amat, hanya saja kabut dan angin cukup menggigit. Setelah membaca tentang sebuah rumah makan di lereng Gunung Lawu yang sudah berdiri lebih dari 60 tahun yang pemiliknya masih hadir dan memasak sendiri, dan ratusan foto tersebar di dunia digital — aku tahu, wajib hukumnya mampir ke Rumah Makan Bu Ugi, Tawangmangu.
Suasana di Rumah Makan Bu Ugi | Foto oleh: Valensia Harumi Edgina
Ah, suasananya. Taplak meja bermotif, toples kerupuk warna-warni, bumbu pelengkap yang lengkap di atas meja, tempat tisu berbentuk setengah kipas berbahan besi, foto-foto artis berjejer akrab dengan sang pemilik. Tak ada duanya, kupikir.
Begitu melewati pintu, rasanya hatiku bergetar. Akhirnya sampai juga di tempat ini. Dan siapa yang menyambut di depan pintu dengan senyum ramah? Seorang ibu yang langsung terasa menenangkan — penjamuan khas Jawa yang menyejukkan hati. Ternyata, itu Ibu Ugi sendiri. Grogi!
Suasana di Rumah Makan Bu Ugi | Foto oleh: Valensia Harumi Edgina
Suasana di Rumah Makan Bu Ugi | Foto oleh: Valensia Harumi Edgina
Aku memesan Sop Iga dan Nasi Pecel, menu spesial hari itu. Beberapa menit kemudian, tiga orang datang serempak dengan atasan berwarna biru — satu membawa es teh tawar, satu menyajikan nasi pecel dan mendoan, satu lagi mengantar sop iga yang masih beruap. Six hands service: Tiga orang dengan gerakan kompak menyajikan berbagai hidangan sekaligus. Rasanya seperti dijamu dalam versi mini rijsttafel — bukan karena banyaknya hidangan, tapi karena rasa kebersamaan dan perhatian dalam penyajiannya.
Kelezatannya seolah sudah terasa bahkan sebelum suapan pertama. Begitu suapan pertama masuk, hanya butuh sekitar 10 menit untuk menghabiskannya. Bukan karena rakus atau kelaparan, tapi karena kelezatannya membuat siapa pun sulit makan perlahan. Rasa sayur pecelnya segar, sambalnya nendang, dan sop iganya penuh kedalaman — bukan yang rumit, tapi justru karena sederhana dan terasa sekali buatan rumah.
Selesai makan, seperti biasa — ini mungkin sudah jadi hobiku — aku berjalan pelan ke arah dapur. Mengintip, mencoba menangkap momen tanpa mengganggu. Di sana, Bu Ugi yang Usianya hampir menginjak 90 tahun masih sibuk memasak. Tapi akhirnya aku ketahuan juga. Aduh, semoga dia tidak kaget, pikirku. Bukannya marah, beliau malah keluar dan dengan lembut menawarkan untuk berfoto bersama.
Potret lain dari Bu Ugi | Foto oleh: Valensia Harumi Edgina
Di momen itu, aku jadi berpikir soal peran Bu Ugi dalam ruang makan — tidak hanya sebagai juru masak, tapi sebagai penjaga atmosfer, pencipta ruang yang aman dan hangat. Timnya pun semua hangat, bahkan membantu kami mengambil gambar Bu Ugi.
Sejarah RM Bu Ugi sendiri sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Rumah makan ini dikenal karena konsistensinya — bukan hanya dari segi rasa, tapi juga dari pelayanan yang ramah dan suasana yang tak tergantikan. Banyak yang datang karena rekomendasi, tak sedikit pula yang datang karena rasa rindu.
Di zaman ketika restoran dan tempat makan berlomba-lomba menciptakan dekorasi mewah dan konsep viral, rumah makan seperti Bu Ugi ini terasa semakin langka. Bukan karena tidak mengikuti zaman, tapi justru karena memilih untuk tetap hangat dan membumi. Keintiman sudah tercipta dari interaksi manusia dan keikhlasan rasa. Tidak terburu-buru namun tetap tanggap, pelayanan tertata dan ramah, tapi tidak berlebihan.
Bagi saya, momen di Bu Ugi ini akan saya simpan lama-lama. Ia mengingatkan bahwa kehangatan tidak datang dari suhu ruang, tapi dari sikap yang menyambut — sekecil apa pun bentuknya. Bukan dari banyaknya pilihan menu, tapi dari tangan-tangan yang membuat makanan itu dengan sepenuh hati. Hospitality dalam wujud paling jujur dan sederhana.
Di luar Jakarta dan Bali, cerita seperti ini masih banyak. Tapi tidak semuanya terdokumentasi atau dirayakan. Warung-warung dengan sejarah panjang, dengan ibu-ibu yang menjaga resep dan rasa — mereka seperti penjaga ingatan kolektif kita. Rasanya ingin mulai mencatat dan menyimpan, sebelum semuanya perlahan hilang.
Di perjalananku ini, Bu Ugi menyajikan kenangan, perhatian, dan rasa yang tidak bisa dibeli — hanya bisa dirasakan.
Dan mungkin itu yang membuat saya pulang dengan hati penuh, dan kesan yang diam-diam mengisi ulang diri.