Surabaya dalam Arsitektur dan Kuliner Pasar Atom
Di Pasar Atom, arsitektur, rasa, dan manusia saling menjahit cerita Surabaya.
Jika dipersonifikasikan, Surabaya seperti seseorang yang berani, merah, dan merekah – yang dirinya sangat hidup dan dipenuhi dengan ragam sifat yang harus dikupas. Mengupasnya yang kaya akan multikulturalisme membuka pemahaman baru tentang bagaimana berbagai budaya hidup berdampingan dan saling membentuk identitas kota ini. Melihat dari kacamata arsitektur dan kuliner, tak lengkap jika tidak mengkaji kehadiran Pasar Atom Surabaya – sebuah ikon Kota Pahlawan, sebuah pasar dengan tahap-tahapnya.
Di sebuah Sabtu di bulan Mei, tur jalan kaki bertajuk “Tomatom Tumatum” menjadi gerbang awal menjelajahi metropolitan Jawa Timur ini – diselenggarakan oleh Mas Baskoro dari Teras Rayu dan Mbak Icha dari Kinda Space. Tur ini memantik pikiran-pikiran yang berkeliling tentang pandangan terhadap artefak kota (beserta bangunan dan desainnya), budaya makanan yang hidup di suatu tempat, dan interaksi bersama manusia-manusia yang ditemui sepanjang jalan.
Pasar Atom sendiri, yang sebagaimana realitanya membawa memori terhadap setiap warga Surabaya, juga meninggalkan ingatan yang hangat pada Mas Baskoro. “Pasar Atom kerasa dekat karena dia jadi salah satu destinasi renang waktu dulu SMP. Rame-rame sama temen-temen SMP nyarter bemo (booking beberapa angkot buat seangkatan) buat ke Atom. Sebenarnya enggak kebayang bahwa di sana ada kuliner enak karena dulu, pas masa SMP itu (circa 2007-2009) ada persepsi kalau makanan di Atom banyak babinya, hehehe. Tapi sampai pada masa kuliah, aku baru mulai main lagi ke Atom karena pas itu lagi suka cari kain buat bahan kemeja laki-laki. Jadi kadang mlipir makan, terus ya finding a lot of things to enjoy dari situ,” katanya.
Dari sisi kuliner, Pasar Atom dikenal sebagai destinasi makanan yang mempertemukan banyak budaya. Terasa jelas saat memasuki gang yang berisi para ibu yang menjajakan makanan khas Madura – seperti bubur, nasi campur, dan mi – dan hanya beberapa langkah setelahnya, beberapa tempat menjual bakwan muncul di pandangan. Pada tur kuliner ini, Mas Baskoro membawa kami kepada beberapa tempat. Lima buah tahu pong dari Tahu Pong & Ronde Kitty menjadi tempat pertama yang didatangi. Rasa tahu-nya pas – tidak terlalu asin, tidak terlalu tawar – ditemani hadirnya petis dan cabai rawit hijau yang melengkapi presensi rasa tahu pong ini. Di kedai ini, kami juga dikenalkan dengan pilus, kudapan terbuat dari tepung tapioka berisi saus kelapa dan gula kacang yang gurih manisnya mencuri perhatian. Saat sedang menyantap, kami dibagikan duduk dengan Ai yang sedang menyantap gado-gado. Perbincangan ringan yang beliau inisiasi membuat sesi makan kami di Tahu Pong & Ronde Kitty meninggalkan impresi yang menyenangkan.
Beranjak dari Tahu Pong & Ronde Kitty, kami dibawa ke Jajanan Pasar Kartiko – yang sudah lama berdiri, namun tetap mempertahankan jiwa-nya sebagai jajan pasar yang tidak meninggalkan pakem seiring zaman berjalan. Kue pulut dan pisang goreng madu sungguh menarik perhatian. Warna yang cantik dan menggiurkan, memastikan rasa yang enak sebelum gigitan pertama. Kue pulutnya cocok disajikan dengan selai srikaya yang turut meramaikan, dan madu pada pisang gorengnya seperti lelehan gula saat dicoba – renyah dan manis berpadu menjadi satu. Kudapan khas Surabaya, ote-ote, tidak luput dari pandangan. Gurih dan asinnya pas dan menyenangkan untuk dimakan.
Tak dipungkiri, saat ini kita hidup di zaman di mana rasa-rasa khas Indonesia “dinaik kelas kan,” menempatkannya sebagai sesuatu yang terkesan “modern”. “Jajan Pasar Kartiko tidak menempuh strategi ini. Mereka mempertahankan masing-masing bentuk jajan pasar dengan bahan dan cita rasa lebih baik. Harapanku, kamu bisa memahami mengapa aku tidak berkeberatan sama sekali membayar jajan pasar dari Kartiko walaupun aku bisa membeli jajan pasar sejenis jauh lebih murah di pasar dekat rumah,” ujar Mas Baskoro.
Bubur Ikan Singkawang A Ngo menjadi tujuan kuliner terakhir tur ini. “Kuah hangat membawa wangi wijen kentara namun lembut ke hidung. Saat diseruput, aromatik kuah dengan perempahan sederhana, wijen, dan aspek laut dari ikan padu semerbak memenuhi mulut. Kuah dengan ketebalan cukup membuat lidah terselimuti nyaman. Tambahkan dengan jeruk sonkit/limau kasturi, semakin segarlah kuah itu. Lalu daging kakap yang empuk dan tak amis itu. Bersama sesuap nasi hangat,” rangkai Mas Baskoro. Dan memang benar adanya, sup ikan singkawang ini menjadi penutup yang nyaman. Di atas meja panjang dan makan ramai-ramai ini, kami pun banyak berbincang soal makanan khas Indonesia – karena makanan adalah suatu hal yang besar kontribusinya dalam menghubungkan sesama manusia. Sebagaimana hakikatnya manusia – makhluk sosial – Pasar Atom menjadi “tempat ketiga” di luar rumah dan pekerjaan untuk sesama warga berkumpul.
Pasar Atom, dalam sepak terjangnya sebagai artefak kota dan cagar budaya Surabaya sejak tahun 1972 – dan melebihi status quo-nya sebagai pasar – telah melewati berbagai tahap-tahapnya yang ikonik. “Pasar Atom sendiri dengan Tahap I sampai Tahap III itu adalah salah satu kasus / pengejawantahan / benar-benarlah salah satu bentuk modernisasi kota. Dalam pengamatan awamku, Pasar Atom pada awal pengembangannya adalah contoh kebijakan pengembangan kota yang tidak serta-merta mengabaikan usaha-usaha mikro dan mendahulukan usaha-usaha menengah ke besar. Jadi, bisa dibilang, Pasar Atom ini peran besarnya sebesar itu karena masih belum ada ruang publik di Surabaya yang bisa mempertemukan kekayaan kuliner tiga bahkan lebih budaya dalam satu tempat dan dalam kemasan yang tidak “dielevasi,” ucap Mas Baskoro.
Ini sejalan dengan teori Aldo Rossi bahwa kota dapat dibaca sebagai karya arsitektur, bukan sekadar ruang ekonomi. Dirancang oleh Harjono Sigit, tipologi arsitektur Pasar Atom memadukan berbagai pengaruh, mulai dari Modern Architecture yang ditandai penggunaan kaca, baja, dan beton sebagai elemen utama, prinsip fungsionalisme, serta struktur terekspos ala Paul Rudolph dan Le Corbusier, hingga Art Deco dan Art Moderne dengan elemen vertikalitas, garis-garis lugas, serta fasad yang ramah dan bersifat publik. Ciri Brutalist Architecture juga terlihat melalui ekspos material beton, kejujuran struktur, dan komposisi visual yang tegas. Sementara itu, sentuhan arsitektur Jengki dengan sudut-sudut berani, asimetri, dan interpretasi tropis pascakemerdekaan memberikan karakter lokal sekaligus modern pada Pasar Atom.
Beberapa elemen penting arsitektur Pasar Atom terlihat dari penggunaan atap Hyperbolic Paraboloid atau HYPAR Roof yang terinspirasi dari karya Felix Candela, menegaskan eksperimen beton bertulang tipis sekaligus menghadirkan identitas visual yang jarang ditemukan pada pasar di Indonesia. Unsur bordes melayang memperlihatkan kecanggihan perhitungan struktur yang membuat ruang terasa ringan, terbuka, dan mengalir. Sementara itu, penerapan pilotis mengikuti prinsip Le Corbusier dengan mengangkat bangunan untuk menciptakan sirkulasi bebas dan ventilasi yang lebih baik.
Pasar Atom, dengan gaya arsitek modern tropis yang lahir dari eksperimen struktur dan pengaruh modernisme, berkembang melalui fase urban Surabaya, dan menjadi artefak kota yang merekam memori kolektif warganya. Mas Baskoro berharap adanya kehadiran pengarsipan pasar ini agar tetap lestari kehidupannya. “Ada upaya pengarsipan sih yang didukung pihak Atom dan pegiat budaya kuliner Surabaya, Jawa Timur, dan Nasional (syukur-syukur Pemerintah). Aku rasa, kita semua masih pada tahap enggak ngerti apa yang kita enggak tahu. Jadi untuk mengatasinya, perlu upaya pengarsipan yang baik. That’s why tur kulineria dan booklet dibuat, salah satunya sebagai upaya pengarsipan itu,” rangkainya.