Cirebon dalam Dua Hari: Dari Mie Koclok Hingga Docang
Cirebon menyimpan potensi untuk menjadi ‘The Surakarta & Yogyakarta of West Java’ menurut saya. Tulisan ini merangkum 2 hari pengalaman berwisata pertama kali di kota ini.
Jaraknya yang terhitung tidak jauh dari Jakarta dan Bandung tak lantas membuat Cirebon menjadi pilihan utama banyak orang untuk berwisata, baik dalam ranah budaya maupun kulinernya. Perjalanan ke sana untuk pertama kalinya membuat saya bisa memahami mengapa kota ini tak seseksi itu untuk jadi pilihan. Padahal, sangat banyak potensi terpendam yang bisa mensejajarkannya dengan kota-kota wisata lain yang berbasiskan kuliner dan kebudayaan. Sebut saja Yogyakarta dan kota atau kabupaten sekitarnya, serta Kota Surakarta.
Perjalanan kurang dari 3 jam menggunakan kereta dari Stasiun Gambir di Jakarta membawa saya ke sebuah stasiun yang dulu menjadi tempat turun para bangsawan saat mengunjungi kota ini. Sebuah stasiun bergaya art deco yang diresmikan pada 1912, dirancang oleh arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Stasiun ini juga menjadi saksi penghubung jalur transportasi hasil pabrik gula yang berkembang pesat. Ya, kota ini adalah salah satu sentra kebun gula di Jawa Barat.
Beranjak dari stasiun, mudah untuk memahami mengapa tempat ini menjadi lokasi strategis turunnya para bangsawan. Cukup berjalan kaki, kamu akan sampai di jalan protokol tempat kantor walikota, rumah dinas, hingga alun-alun kota berada. Di jalan inilah saya memilih untuk menginap. Jalan yang strategis untuk mobilisasi dalam kota dengan luas 37,54 km², menjadikannya salah satu dari 10 kota terkecil di Indonesia.
Empal Gentong Bu Darma Membuka Perkenalan
Empal Gentong Bu Darma | Foto oleh: R.Calvin Budianto
Semangkuk empal gentong komplit dengan nasi putih hangat dan emping tersaji tak lama setelah saya masuk ke rumah makan di lokasi bekas bengkel ini. Jalan Diponegoro yang siang itu terasa seperti oven dengan suhu menyengat menjadi saksi pertama kalinya saya mampu menghabiskan seporsi empal gentong.
Kuah Empal Gentong Bu Darma terasa lebih ringan dibanding empal gentong yang pernah saya cicipi di Jakarta, maupun yang dibawa menjadi buah tangan dari Empal Gentong H. Apud beberapa tahun lalu. Justru karena lebih ringan, saya bisa lebih mudah menikmatinya tanpa mengurangi keistimewaan rasa. Namun setelah menyantapnya, masih tersisa pertanyaan: di mana sebenarnya empal gentong terbaik Cirebon? Rasanya, banyak orang punya referensinya masing-masing. Atau memang setiap empal gentong di kota ini memiliki keistimewaannya sendiri?
Melihat Perkembangan Kota dari Berkahjaya Bakehouse
Tampak depan Berkahjaya Bakehouse yang rindang dengan susunan pohon tertata | Foto oleh: R. Calvin Budianto
Punya teman yang tinggal di Cirebon memberi saya kesempatan untuk beberapa kali mengirim hampers pada momen-momen tertentu. Berkahjaya Bakehouse jadi pilihan kuliner ‘kekinian’ yang memberi warna berbeda di antara pilihan kuliner khas Indonesia yang mendominasi platform seperti GoFood maupun GrabFood. Kesempatan untuk mengunjunginya secara langsung tentu tak bisa dilewatkan — meskipun lokasinya sudah masuk wilayah Kabupaten Cirebon dan sedikit jauh dari pusat kota. Sampai di sana, saya disambut oleh hamparan sawah yang mengelilingi area. Tapi begitu memasuki gerbangnya, nuansa seperti Bandung langsung terasa.
Di dalam, sambutan ramah para staf menyambut, lengkap dengan display berisi belasan pilihan croissant, dessert jar, dan entremet cantik. Rasanya seperti melihat Don Bakehouse, tapi dalam versi yang lebih minimalis. Mulai dari Pain Suisse, Pain au Chocolate, Beef Salami Croissant, hingga Apple Crumble Croissant, semuanya tersedia.
Menghangatkan Diri dengan Sepiring Mie Koclok
Mie Koclok yang hangat | Foto oleh: R.Calvin Budianto
Sore itu, hujan mulai turun rintik-rintik. Rasanya pas untuk menghampiri Mie Koclok Panjunan. Ini adalah kali pertama saya menyantap hidangan ini. Sekilas mirip Mie Celor dari seberang pulau, tapi dengan perbedaan pada kaldu yang digunakan. Mie Koclok memakai kaldu ayam, sementara Mie Celor menggunakan kaldu udang. Jenis mie-nya juga sedikit berbeda. Tapi keduanya sama-sama nikmat.
Mie berkuah kental dengan kaldu ayam, suwiran ayam, dan telur ini menjadi pilihan tepat. Tak heran jika banyak warga lokal turut mengantre, bukan hanya wisatawan seperti saya. Saya yang datang sendiri ‘terpaksa’ duduk berdampinga di satu meja komunal bersama sebuah keluarga. Menambah kehangatan sore it sambil mendengar obrolan mereka yang telah berkeliling Cirebon hari itu.
Pagi Hari di Pasar Kanoman dan Area Pecinan
Tahu Gejrot Kanoman Mang Wawan | Foto oleh: R.Calvin Budianto
Keesokan harinya, saya memilih membuka pagi dengan seporsi Tahu Gejrot Kanoman Mang Wawan. Rasanya mengubah pandangan saya terhadap hidangan yang selama ini sulit saya cintai di Jakarta — karena kerap terasa tak karuan. Duduk di emperan toko manisan Shinta, saya menyantap tahu gejrot sambil mengamati bapak-ibu yang memesan kemasan besar untuk dibawa pulang. Pemandangan khas yang hanya bisa ditemui di tempat asalnya.
Menyebrang sedikit, saya menemukan warung yang menyajikan docang, hidangan lontong, toge, kembang kol yang disiram kuah oncom, ditaburi kelapa parut, dan disantap bersama kerupuk. Docang Putra Tunggal menjadi docang yang lagi-lagi baru pertama kali saya coba. Rasanya tak familiar namun memang sangat pas untuk dijadikan hidangan sarapan pagi.
Docang | Foto oleh: R.Calvin Budianto
Setelah perut diberi waktu untuk mencerna seluruh kenikmatan itu, matahari mulai naik dan panasnya terasa menusuk. Ini waktu yang tepat untuk menghampiri Es Duren Kabita yang tak jauh dari tempat tahu gejrot tadi. Sejuk, manis, dan menyegarkan, seperti oase di tengah cuaca terik. Jika terasa terlalu berat, masuk saja ke Gang Macan yang dingin oleh AC. Di dalamnya, kamu bisa mencari es kopi, es teh, atau mencicipi Earl Grey Toast yang pekat, atau rangkaian sourdough yang masih jarang ditemui di kota ini.
Jangan Lupakan Buah Tangan
Buat saya yang tak punya banyak waktu, layanan antar dari ojek online selalu jadi solusi. Sebelum kereta berangkat, memesan empal gentong secara online bisa jadi opsi cerdas. Atau kalau sempat, tinggal ‘melompat’ ke beberapa bakery legendaris kota ini.
Saya memilih mengunjungi Toko Roti Ruby yang berdiri sejak 1976, Bonscherry sejak 1986, serta La Palma Toko Roti & Kueh yang bangunannya sangat lawas. Duduk di La Palma terasa seperti kembali ke masa 90-an, lengkap dengan bangku khas dan suasananya yang tidak dibuat-buat. Tak lupa saya juga memesan Ketan Gurih Nyonya Lanny yang termahsyur dan sudah berdiri sejak 1965.
Menyantap Ketan Gurih Ny. Lanny, buah tangan termahsyur Kota Cirebon | Foto oleh: R.Calvin Budianto
Meski belum sempat mencicipi Nasi Jamblang, Nasi Lengko, Kue Tapel, atau berkunjung ke kedai es teler, agen susu murni, hingga rumah jamu legendaris, kunjungan ke Cirebon ini tetap istimewa. Artinya: harus ada kunjungan selanjutnya untuk melengkapi pengalaman.
Refleksi: Potensi Besar yang Perlu Dikelola
Dari perjalanan singkat ini, saya memahami mengapa saya memadankan Cirebon dengan Surakarta. Kota ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadikan unsur budaya sebagai daya tarik utama, terutama dengan keberadaan empat keraton: Keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Seperti Yogyakarta yang tak hanya hidup dari kuliner, tapi juga dari peran kuat keratonnya sebagai pusat budaya, atau Surakarta yang semakin menarik setelah pengelolaan Pura Mangkunegaran ditata dengan baik. Cirebon pun punya potensi yang sama. Sayangnya, kawasan keraton di sini terlihat kurang rapi, fasilitas pendukung kurang terawat serius, dan beberapa inisiatif hanya berhenti pada renovasi fisik lewat CSR beberapa perusahaan tanpa diiringi strategi pariwisata yang matang.
Sudah siap menjelajah Cirebon dari semangkuk mie koclok hingga sepiring docang?