Andri Dionysius and the Gospel of Good Food

Berkenalan dengan Andri Dionysius, sosok yang memperkenalkan Jakarta dengan semesta rasa baru dan segala kemungkinannya.

Andri Dionysius dan dapur restoran Carbon. | Foto oleh Feastin’

Andri Dionysius dan dapur restoran Carbon. | Foto oleh Feastin’

Semua chef bisa datang dengan ide segar dan kreativitas, namun hanya segelintir yang bisa memberikan perspektif baru terhadap cita rasa, hingga akhirnya mentransformasi pemahaman seseorang akan cara makanan diolah. Sosok seperti itu adalah manusia langka. Mereka merupakan mahluk hybrid antara seniman dan ilmuan yang dirasuki roh para inovator. Setiap hal yang mereka sentuh menjadi pendobrak akan pakem-pakem yang sebelumnya terbentuk selama puluhan hingga ratusan tahun. Darah seorang pionir sepertinya mengalir dalam sosok-sosok ini. Tidak perlu melihat dunia luar, di Jakarta sosok ini ada di tengah-tengah kita. Kesehariannya berada di balik dapur, memastikan dengan matanya yang jeli akan kesempurnaan dalam kelembaban udara saat mengeringkan dada bebek, atau saat Ia memastikan komposisi antara sepuluh tekstur cokelat harus terasa dalam satu gigitan. Untung bagi kita, kreasinya bisa dinikmati siapapun tanpa terkecuali.

Sosok ini adalah Andri Dionysius, chef yang menjadi otak di balik beberapa restoran yang memberikan angin pengharapan terhadap bagaimana Jakarta mengenal cita rasa baru. Datang ke restoran yang ia pimpin, entah itu Animale dengan latar Mediterania dan New American; mengunyah steak di Aged + Butchered; dan merasakan aneka jagung dari dataran Andes di restoran Carbon – setiap kunjungan menjadi pewahyuan akan bagaimana sebuah makanan dapat diolah.

Tiap tekstur, tiap komponen, padanan rasa, terpikirkan dengan cerdas sehingga seaneh apapun kombinasi menu yang Ia lakukan semuanya dapat dinikmati. Namun Ia masih ingat bagaimana transformasi penikmat restoran Jakarta dari pertama Ia tergabung dengan Akira Back hingga sekarang. “Menarik ya, karena diner di Jakarta saya lihat sudah berkembang jauh dari pertama kali saat saya ikut dengan Akira Back. Banyak dari mereka yang saya lihat sudah terekspose dengan konsep makanan baru, tipe makanan baru, jadinya knowledge soal makanan ikut terangkat.”

“Saya sendiri masih ingat sekali kok soal bahan baku. Enam tahun lalu aja cari jalapeno susahnya bukan main. Mungkin karena belum banyak yang perlu. Sekarang sudah gampang. Sekarang banyak juga supplier yang berani untuk ambil bahan baku yang aneh-aneh.” Lanskap restoran di Jakarta – sebagaimana yang disampaikan oleh Chef Dionysius – memang dengan cepat mengejar ketertinggalan dari kota lain seperti Singapura dan Bangkok. “Apalagi dengan banyaknya anak Indonesia yang pulang dari sekolah di luar negeri ya. Jadinya mereka juga well-exposed.” Terangnya.

Namun Chef Dionysius tidak setengah-setengah. Sejak awal Ia dipercaya dengan outlet restoran pertama yang sepenuhnya berada di bawah kendalinya – Animale – Ia sudah hadir dengan ambisi. Ruang restoran yang dahulu bernama Valentino dengan bergaya Italia Ia ubah menjadi restoran dengan unsur elemen di bumi seperti tanah, batu, dan angin. Semua merepresentasikan bahan makanan yang Ia pakai di dalam menu Animale. “Animale terinspirasi dari habitat liar satwa. Maka dari itu menunya bermacam-macam.” Di Animale – selain pasta yang memang Ia tonjolkan dengan spesial – tamu juga bisa mencicipi mulai dari bebek, seafood, hingga daging domba.

Setelah Animale, Chef Dionysius tak mengenal kata istirahat. Aged + Butchered dengan inspirasi tambang emas sebagai dekor juga dibuka. “Aged + Butchered memang fokusnya adalah daging yang kami dry-aged. Kalau mampir ke Aged-Butchered, kalian bisa lihat bilik dry-aged yang kami buat sendiri untuk memastikan kualitas daging sesuai, bukan cuma pesan daging dry-aged via supplier. Lalu di Aged + Butchered kita juga menyajikan menu ala carte lainnya yang kita kelompokkan dalam Signature Sides dan Signature Dishes, all I promised as great as our meats. Haha.” Jelasnya. Di sini Ia tidak mau setengah-setengah, semua proses dry aging dilakukan dengan cermat walaupun mereka yang bekerja di dapur professional tahu betul betapa mahal dan sulitnya proses ini dilakukan. Chef Dionysius tidak mengenal kata kompromi apabila soal bahan baku. “Kalau kompromi tidak ya. Kita berusaha supaya tiap bahan baku itu sesuai dengan konsep makanannya.”

Pandemi juga tidak mengurangi kreativitas Andri Dionysius dan tim. Animale pun dengan cepat dilakukan pivot dengan menyajikan Animale-to-Go yang bisa dibeli di supermarket seperti Grand Lucky SCBD. Hal ini menunjukkan agility seorang Andri Dionynisus bukan cuma sebagai chef namun juga sebagai seorang pebisnis dan konseptor. Pada awal 2021, grup MDA Restaurants yang menjadi payung Chef Dionysius pun membuka pintu restoran terbaru mereka, Carbon.

Restoran Carbon juga tidak kalah ambisiusnya. Di mana lagi di Jakarta bisa mencicipi berbagai jagung liar dari Meksiko hingga Peru? Yang disajikan dengan saus aneka cabai lokal Amerika Latin yang juga berhasil Ia dapatkan. “Carbon konsep utamanya adalah Mexican-Peruvian. Di sini kita ingin tampilkan makanan dengan Mexican-Peruvian flavor. Saya tidak pernah bilang ini restoran Meksiko, tapi cita rasanya ada. Di sinilah saya bisa bermain dengan imajinasi dan gaya saya sendiri. Di sini kami bermain dengan dua heirloom ingredients dari Central dan Latin America. Jagung contohnya, we have bolita azul dari Oaxaca, conico azul dari Jocotitlan dan lainnya. Kami buat tortilla dari nol. Kami giling bikin masa sendiri, lalu kami nixtamalize sendiri. Di Carbon kami pakai aneka aji* yang punya karakter rasa dan aroma yang luar biasa.” Ujarnya dengan semangat.

Yang dilakukan oleh Chef Dionysius sejatinya membuktikan bahwa apabila diracik, dirancang, serta disajikan dengan tepat, makanan dengan konsep rasa dan tekstur baru sebetulnya bisa diterima oleh lidah lokal dengan tidak melakukan kompromi yang berlebihan atau bahkan tanpa kompromi sama sekali. “Sebetulnya seperti saya bilang sebelumnya, our people are ready untuk konsep seperti ini. Hanya memang kita harus tahu elemen-elemen apa saja yang market suka. Di situlah kita bisa play around.” Hal ini terbukti dari restoran-restoran kreasi chef Dionysius di bawah grup MDA Restaurants itu sendiri. Restoran mereka tidaklah berada di area eksklusif yang erat dengan gaya hidup seperti SCBD dan Senopati, namun berada di area belakang gedung perkantoran wilayah Setiabudi. Hal ini menunjukkan, bahwa tamu yang bersantap di Animale, Carbon atau Aged + Butchered memang khusus datang untuk makan, menjadikan gedung MD Place ini sebagai dining destination.

“Ke depannya yang sudah ada di pipeline group MDA Restaurants ada Wabisabi dan juga Iron Plate. Saya belum bisa share semuanya, tapi yang pasti Wabisabi itu akan membawa gaya kontemporer Jepang dan untuk Iron Plate. . . ditunggu informasi selanjutnya. Haha.”

Seperti namanya Dionysius – yang diambil dari orang suci dalam sejarah Kekristenan – chef Andri telah memberikan pengharapan terhadap para pemuja makanan di Ibukota. Tidak berbeda dengan Santo Dionysius, Andri juga memberitakan “injil” versinya sendiri. Tidak melalui kata-kata dan pengajaran, namun melalui kreasi gastronomi.

*Aji: Merupakan bahasa Spanyol untuk cabai. Penggunaan aji spesifik apabila merujuk kepada variasi cabai khas Meksiko.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Coconut & Sambal: Bukti Buku Masih Punya Kuasa.

Next
Next

Cerita Bersama Renatta