Dari Segelas Kopi Susu ke Ruang Kebersamaan di Kopi Soe Coffeetaria
Mengawali langkah dari tren kopi susu hingga merintis Coffeetaria, Sylvia Surya dan Ferri Kurniawan menulis ulang bab baru perjalanan Kopi Soe.
Foto oleh: Feastin’
Di tengah hiruk pikuk kopi susu yang sempat mendominasi lanskap kuliner Indonesia, satu nama hadir dengan pendekatan berbeda dan kini, dengan konsep yang lebih segar: Kopi Soe. Sejak berdiri pada 2017, brand ini identik sebagai salah satu pionir kopi susu serta strategi kemitraan yang membuatnya cepat dikenal luas. Namun di balik kesuksesan puluhan hingga ratusan outlet yang sempat tersebar di seluruh Indonesia, ada perjalanan panjang pasangan Sylvia Surya dan Ferri Kurniawan: sebuah kisah tentang cinta pada dunia kuliner, keberanian mengambil risiko, hingga keberlanjutan sebuah brand di tengah pasar yang cepat jenuh.
Titik Balik Perjalanan Kopi Soe
Pandemi menjadi tantangan sekaligus peluang. Basis pelanggan online membuat Kopi Soe tetap bertahan, bahkan melahirkan fenomena baru: croffle. Awalnya hanya eksperimen sederhana yang dibagikan ke KOL, menu ini justru viral dan membawa Kopi Soe semakin dikenal luas. “Waktu itu KOL belum ada rate, aku masih pegang Instagram sendiri, ketok pintu ke mereka satu-satu. Eh, ternyata viral” ujar Sylvia.
Namun setelah pandemi, peta berubah. Konsumen mulai selektif, pertumbuhan kopi susu melambat, dan consumer behavior berubah. Kopi Soe sempat mencoba bertahan dengan meluncurkan menu-menu baru, tapi tidak semuanya berhasil. Dari sini, Sylvia dan Ferri sadar bahwa mereka perlu kembali ke dasar: Mengenal lebih dekat siapa sebenarnya pelanggan mereka.
Membuka Bab Baru lewat Coffeetaria dan Merangkul Komunitas
Ide transformasi Kopi Soe sendiri datang dari percakapan komunitas. “Setelah COVID, kami banyak ketemu teman-teman di komunitas. Dari berbagi cerita, tercetus ide untuk revamp Kopi Soe,” kata Sylvia. Pada 2023, lahirlah Kopi Soe Coffeetaria—sebuah konsep neighborhood coffee shop yang lebih personal.
“Ada dua hal yang bikin kami mantap. Pertama, selama online kami gak kenal siapa customer sebenarnya. Yang kami tahu cuma bapak ojek online yang ambil pesanan. Kedua, dari dulu Ferri pengen bikin kopi tiam. Jadi ya, akhirnya kami bikin saja. Dalam bisnis F&B, kalau kepikiran sesuatu, lebih baik lakukan. Kalau enggak, bakal penasaran terus” tutur Sylvia.
Coffeetaria ini menawarkan suasana yang hangat dan bersahabat. Menu-menunya pun dekat dengan hati: pumpkin butter toast dengan roti tanpa pengawet, nasi goreng rendang dari kampung halaman Ferri, hingga comfort food lain yang digarap dengan serius oleh keduanya.
Merangkul Komunitas Melalui Kegiatan dan Kolaborasi
Transisi dari sistem 100% kemitraan ke konsep neighborhood tentu bukan hal mudah. Ada mitra yang sejalan, ada pula yang berbeda visi. “Kami gak bilang pilihan di awal itu salah. Kemitraan membantu ekspansi, tapi standar kualitas memang sulit dijaga ketika visinya berbeda” kata Sylvia.
Di Coffeetaria, mereka memilih kembali ke dasar: hadir langsung setiap hari, menanyakan feedback pelanggan, dan menjaga detail kecil—dari grooming barista hingga konsistensi pelayanan. “Walaupun bisa diserahkan ke tim, kami pengen tetap grounded. Buat kami, bisnis kuliner bukan sekadar scale up cepat. Aku gak mau buru-buru sekarang” tegas Sylvia.
Selain itu, kolaborasi jadi jalan menjaga relevansi. Mulai dari Katina hingga Seporsi Mi Kari, Sylvia pun tak ragu “mengetuk pintu” untuk bekerja sama. “Awalnya aku gak kenal Kesia dari Katina, tapi aku coba ajak collab. Dari situ malah jadi teman” ujarnya.
Kembali ke Akar, Menulis Bab Baru
Kini, dari es kopi susu yang lahir di momen tren, Kopi Soe menulis ulang babnya sendiri. Coffeetaria menjadi simbol kembalinya mereka ke akar: menyajikan rasa yang dekat dengan Sylvia dan Ferri, sekaligus menghadirkan ruang kebersamaan.
Bagi pasangan ini, bisnis kuliner bukan tentang mencari validasi dari luar, tapi tentang keberanian melangkah. “Namanya hidup entrepreneur, gak ada yang benar atau salah. Kalau mau bikin sesuatu yang berbeda, lakukan saja” kata Sylvia. Dan itulah yang membuat Kopi Soe tetap relevan: keberanian untuk berubah, konsistensi menjaga kualitas, dan segelas kopi yang selalu punya tempat di hati pelanggan.