Festival Kopi Tarkam 2025: Merayakan Warisan Kopi Lokal, Menantang Monotonisasi Selera Global

Ketika espresso, latte, dan cappuccino mendominasi kedai kopi dari Jakarta hingga Jayapura, Festival Kopi Tarkam 2025 hadir dengan misi berbeda, menyuguhkan kembali rasa kopi tradisional dari beragam daerah di Indonesia.

Jakarta menjadi saksi semaraknya warisan rasa dan budaya kopi Nusantara lewat perhelatan Festival Kopi Tarkam 2025 yang digelar pada 2–4 Mei 2025 di Strada Coffee, La Piazza, Mall Kelapa Gading. Acara yang diinisiasi oleh Gastronusa ini mengusung semangat “Tarkam” atau Antar Kampung, sebagai bentuk apresiasi terhadap warisan kopi lokal dari berbagai penjuru Indonesia.

Di tengah arus globalisasi selera yang cenderung menyamaratakan standar cita rasa kopi dunia, muncul kegelisahan yang menjadi titik mula kelahiran festival ini. Edwin Pangestu, pendiri Gastronusa, mengungkapkan bahwa gagasan awalnya berangkat dari pengamatannya terhadap perkembangan dunia kopi internasional.

"Kalau kita lihat, kualitas kopi di berbagai kota dunia sekarang sudah semakin setara. Cara seduhnya pun kurang lebih sama. Ini menimbulkan pertanyaan: kalau semuanya hampir sama, lalu apa yang akan membuat orang mau travel untuk pengalaman kopi yang berbeda?"

Pertanyaan inilah yang menggugahnya untuk kembali ke akar, menggali dan mengangkat teknik seduh tradisional yang lahir dari budaya lokal. Edwin menyampaikan harapannya agar praktik-praktik ini bisa dikenal lebih luas, bahkan diadopsi oleh kedai-kedai kopi modern di kota besar.

"Masa orang Italia ke Indonesia disuguhinya espresso lagi, cappuccino lagi, latte lagi?" sindirnya sembari tersenyum. "Kenapa tidak kita suguhkan saja kawa daun, kopi tembikar, atau kopi rempah yang benar-benar khas Indonesia?"


Dari Kawa Daun sampai Talua Sous Vide

Beragam penyaji hadir membawa kekhasan dari daerahnya masing-masing. Ada penyaji Kawa Daun dari Minang, minuman kopi yang justru tidak menggunakan biji kopi, melainkan daun kopi yang dikeringkan dan diseduh, lalu disajikan dalam batok kelapa. Dari Yogyakarta, disajikan Kopi Jo, kopi pekat dalam tembikar yang disajikan dengan rempah-rempah dan gula merah. Di salah satu sudut, ada kedai legendaris Kopi Es Tak Kie dari Glodok, yang sejak 1927 konsisten menyajikan racikan khas peranakan Tionghoa yang dingin, ringan, dan sarat memori. Djauw Coffee menawarkan kopi seduh ala Arab dengan teknik mirip jebena Ethiopia atau Turkish coffee, tetapi menggunakan kopi robusta lokal.

Yang paling menyita perhatian datang dari Fluffy Rocket, yang menyajikan Kopi Talua—kopi kuning telur khas Minang—dengan pendekatan modern. Telur tidak langsung diaduk mentah ke dalam kopi, tetapi lebih dulu dipasteurisasi lewat teknik sous vide selama 30 menit di suhu 60°C. Hasilnya: rasa tetap legit, tekstur lembut, dan jauh dari bau amis serta risiko bakteri. Teknik ini menjadi jembatan bagi mereka yang ingin mencoba kopi talua tapi punya keraguan terhadap telur mentah.

Membaca Ulang Sejarah Lewat Lima Gelombang Kopi

Salah satu suara penting dalam festival ini adalah Yudha Teguh dari Bumi Boga Lestari, yang memberikan kerangka historis soal bagaimana kopi Indonesia telah bergerak dalam lima gelombang evolusi:

  1. Gelombang 1: Kopi disangrai secara tradisional menggunakan tembikar dan kayu bakar, cara yang ditemukan di berbagai daerah penghasil kopi sejak ratusan tahun lalu.

  2. Gelombang 2: Muncul alat sangrai semi-modern, seringkali buatan sendiri dan berbentuk seperti molen semen, mempermudah proses sangrai skala menengah.

  3. Gelombang 3: Era industrialisasi dengan dominasi kopi instan dan kopi sachet, menjadikan kopi bagian dari konsumsi massal.

  4. Gelombang 4: Munculnya specialty coffee, penyeragaman metode, dan penggunaan cupping score sebagai standar kualitas.

  5. Gelombang 5: Revolusi kopi kekinian. Kopi susu gula aren dan turunannya mendobrak dogma gelombang keempat, membuka ruang baru dalam cara menikmati kopi.

Kini, menurut Yudha, Indonesia perlu bersiap memasuki Gelombang 6—fase di mana akar budaya kopi Indonesia tak hanya dihidupkan kembali, tetapi juga diperbaiki, diperkuat, dan dipoles dengan teknologi serta pendekatan baru.

“Kita tidak sekadar menghidupkan kembali cara-cara seduh tradisional, tapi juga memperbaiki kualitasnya dengan teknologi yang kini sudah lebih memungkinkan,” jelasnya. “Kolaborasi antara budaya tradisional dan pendekatan specialty coffee akan melahirkan identitas kopi Indonesia yang benar-benar baru.”

Ia menekankan bahwa pada gelombang ini, kemerdekaan menikmati kopi menjadi kata kunci. Tak ada lagi dogma “kopi harus begini” atau “kopi yang benar adalah begitu”. Semua metode sah, semua selera valid.



Bukan Sekadar Festival, Tapi Gerakan

Festival Kopi Tarkam menjadi lebih dari sekadar acara tiga hari. Ia adalah pernyataan sikap: bahwa budaya kopi lokal layak mendapat tempat sejajar—bukan di bawah bayang-bayang espresso machine atau kafe-kafe bergaya Skandinavia.

Dengan kehadiran komunitas, penyaji lokal, pecinta kopi, dan pelaku industri, festival ini membuktikan bahwa kopi tradisional bukanlah masa lalu yang usang. Ia adalah identitas budaya, sekaligus masa depan industri—yang lebih inklusif, lebih berakar, dan lebih berani tampil sebagai dirinya sendiri.

Tradisi, Teknologi, dan Kemerdekaan dalam Ngopi

Festival Kopi Tarkam bukan hanya soal rasa, tapi juga soal identitas. Bahwa kopi Indonesia tak melulu soal asal biji, tapi juga soal cara menyeduh, cara menyuguhkan, cara merayakan. Dari tradisi yang nyaris hilang, hingga pendekatan teknologi yang memodernkan.

Lewat acara ini, Gastronusa ingin menunjukkan bahwa kopi tradisional tak kalah keren. Bahkan mungkin, ia adalah masa depan industri kopi Indonesia—yang tidak didikte oleh Barat, tapi digali dari rumah sendiri. Ketika dunia mulai bosan dengan rasa yang itu-itu saja, kopi Indonesia punya jawaban. Ia punya cerita, punya akar, dan kini juga punya inovasi. Seperti yang dikatakan Edwin Pangestu: “Kalau semua teknik seduh dan kreasi sudah mirip-mirip, yang akan membuat orang travel itu ya rasa dan budaya. Dan kita punya itu semua.”

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Menakar Identitas Gastronomi Indonesia Lewat Prestige Gourmet Awards 2025

Next
Next

Setetes FO Syrup: Ketika Keunggulan Rasa Berpadu dalam Strategi Efisien