Blok M: Dari Terminal Kota ke Titik Temu Kuliner Urban Jakarta

Dulu dikenal sebagai rumah bagi terminal, pasar, dan Pasaraya yang megah; kini Blok M menjelma jadi kanvas selera Jakarta menyatukan beragam kalangan. 

Foto: Feastin’

Blok M bukan tempat yang asing di benak orang Jakarta. Ada masa ketika kawasan ini hidup dalam dua wajah yang kontras: Ramai dan sumpek, murah dan meriah, kumuh tapi fungsional. Di satu sisi berdiri Pasaraya dengan kejayaan department store era Orde Baru, menawarkan segala dari batik sampai kerajinan nusantara, bahkan sempat menjadi rumah bagi nama besar seperti Cafe Wien yang dulu pernah berdiri megah pula di Plaza Senayan; di sisi lain, terminal Blok M dan pasar menjadi nadi transportasi sekaligus tempat orang-orang mencari kebutuhan sehari-hari.

Bagi banyak orang, kenangan tentang Blok M hadir lewat suara mikrolet yang berlomba memanggil penumpang, aroma jajanan kaki lima yang menyengat tapi menggoda, hingga nostalgia jalan-jalan sore atau nonton film di bioskop lama. Tempat ini dulu jadi destinasi kaum pekerja, pelajar, sampai keluarga, semua datang dengan tujuan praktis, bukan gaya hidup.

Namun di balik kekacauan visual dan aroma khasnya, Blok M menyimpan dinamika yang nyata, tempat di mana kota ini terasa hidup apa adanya. Blok M adalah ruang kota yang hidup bukan karena desain rapi atau branding manis, tapi karena fungsinya sebagai simpul; tempat orang bertemu, berpindah, bertukar, dan bertahan.

Masa Transisi: Ketika Blok M Ditinggalkan

Seiring munculnya mal-mal besar dan pusat perbelanjaan modern di Jakarta, pamor Blok M sempat meredup. Pasaraya kehilangan pengunjung, sebagian tenant tutup, dan terminal terasa semakin usang. Generasi muda lebih memilih ke mal di bilangan Senayan atau Gandaria yang berada di sekitar kecamatan Blok M, meninggalkan Blok M dalam kesan "lama" dan "berdebu."

Namun meski mulai terpinggirkan, Blok M tidak benar-benar mati. Pasar bawah tanah masih berdenyut dengan kios pakaian terjangkau dan CD bajakan. Little Tokyo, area kecil dengan restoran Jepang autentik pun tetap ramai jadi spot bagi ekspatriat dan pencinta budaya Jepang. Blok M bertahan dalam bentuk yang lebih sunyi, seperti menunggu momentum baru untuk hidup kembali.

M Bloc Space dan Gelombang Baru

Momentum itu datang pada 2019, ketika M Bloc Space lahir di bekas komplek rumah dinas Peruri. Kehadirannya jadi semacam katalis: tiba-tiba Blok M kembali masuk radar anak muda, media, hingga pemerintah kota.

M Bloc tidak hanya sekadar deretan kafe dan restoran. Ia memperkenalkan konsep ruang kreatif: konser musik independen, pameran seni, diskusi komunitas, hingga brand lokal yang diberi panggung. Tenant kuliner seperti Titik Temu, Oeang, hingga Kedai Tjikini memberi wajah baru pada Blok M, memadukan rasa lama dengan energi baru.

Keberhasilan M Bloc menular. Perlahan-lahan, restoran baru, bar, dan kafe bermunculan di sekitar Jalan Panglima Polim, Mahakam, hingga Melawai. Blok M bertransformasi jadi salah satu pusat kuliner paling dinamis di Jakarta dengan warna yang diberikan. 

Gelombang perubahan ini juga didorong dengan berbagai kemudahan dan aksesibilitas. Seperti hadirnya MRT yang memudahkan para commuter, sampai kehadiran GoFood yang menjembatani cita rasa Blok M dalam segala fasenya — dari warisan lama hingga wajah barunya — langsung ke meja makan di rumah pelanggan – membuat kuliner Blok M kian familiar dan diminati sampai sekarang. 

Blok M Hari Ini: Titik Temu Selera dan Gaya Hidup

Hari ini, Blok M adalah mosaik.


Di satu sisi, ada Little Tokyo dengan deretan izakaya yang padat setiap malam. Ada juga warung makan legendaris seperti Ayam Goreng Berkah atau gerobak kaki lima yang sudah setia puluhan tahun. Di sisi lain, restoran kontemporer bermunculan dengan estetika modern dan kurasi rasa yang menyasar generasi muda urban.

Blok M Square masih bertahan sebagai pusat belanja rakyat, sementara di sekitarnya hadir kedai kopi hipster dan bar koktail tersembunyi. Campuran ini yang membuat Blok M terasa unik: tidak ada satu narasi tunggal, melainkan percampuran antara lama dan baru, antara jalanan dan gaya hidup.

Bagi penikmat kuliner, Blok M menawarkan sesuatu yang jarang dimiliki kawasan lain; autentisitas yang terus bergerak. Kamu bisa makan ramen khas Jepang, lanjut minum kopi di kafe artsy, lalu menutup malam dengan sate gerobak atau gulai tikungan yang kursinya hampir selalu terisi oleh pengunjung yang lapar. 

Kawasan yang Tidak Pernah Selesai

Blok M bukan kawasan yang selesai dengan satu wajah. Ia selalu berubah, dipengaruhi oleh arus budaya, ekonomi, dan selera zaman. Transformasi yang terjadi sekarang bisa jadi hanya satu fase, sebelum gelombang berikutnya datang.

Namun justru di situlah kekuatannya. Blok M adalah contoh regenerasi kota yang tidak lahir dari proyek megah, tapi dari inisiatif kolektif: pelaku usaha kecil, seniman, komunitas, dan pegiat makanan yang saling berkolaborasi memberi warna pada ruang.

Dalam rilisan ‘Feastin’ Food Guide: Blok M dan Sekitarnya’, GoFood dan Feastin’ menghadirkan pengalaman kuliner yang menghubungkan dunia online dan offline, mengenalkan wajah-wajah baru sekaligus menjaga napas lama Blok M agar tetap hidup di tengah geliat kota.

Tentu ada tantangan, dari gentrifikasi, komersialisasi cepat, hingga risiko kehilangan akar sejarah. Tapi selama ada keseimbangan antara yang lama dan yang baru, Blok M akan terus menjadi kawasan yang relevan, sekaligus penuh cerita.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Blok M? 

Evolusi Blok M mengajarkan kita bahwa kota yang hidup bukan hanya soal arsitektur indah atau branding megah, tapi soal ruang yang memberi tempat bagi interaksi dan kolaborasi. Dari terminal yang semrawut hingga kafe bergaya modern, Blok M adalah saksi bagaimana Jakarta terus bergerak, berlapis, dan beragam.

Sekarang, Blok M bukan cuma tempat makan, tapi bagian dari ritme hidup kota. Ada yang datang langsung mencicipi ramen di ruko kecil di Melawai, ada juga yang menemukannya lewat GoDineIn, dengan promo yang ditawarkan, pengunjung datang, duduk, dan menikmati suasana larut dalam gegap gempita Blok M. Bagi yang tak sempat keluar rumah, GoFood tetap jadi jembatan untuk merasakan cita rasa yang sama.

Dan pada akhirnya, mungkin itulah kenapa kita kembali ke Blok M: bukan hanya untuk makan atau belanja, tapi untuk merasakan ritme kota yang sesungguhnya. 

Artikel ini merupakan rangkaian dari kolaborasi Feastin’ dengan GoFood dan GoDineIn untuk Feastin’ Food Guide Series: Blok M dan Sekitarnya. Cek link berikut untuk menemukan kurasi Feastin’ di aplikasi GoFood.

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business Partnerships & Editorial Strategist di Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, ia selalu memulai hari dengan iced latte & tak pernah bisa menolak kelezatan hidangan Jepang.

Previous
Previous

Pekan Gourmet Plaza Indonesia

Next
Next

Jakarta Coffee Week 2025: Satu Dekade Menyatukan Semangat Kopi Indonesia