Cerita tentang Makanan dari Timothy Erick melalui Stories in My Garden

Bagaimana kenangan masa kecil di kebun sang Oma menumbuhkan filosofi rasa Timothy Erick dan menjadi akar bagi Stories in My Garden

Foto: Dokumentasi Timothy Erick

Perjalanan kuliner Timothy Erick dimulai jauh sebelum ia mengenakan apron chef atau bekerja di restoran bintang Michelin. Semua berakar dari rumah keluarga di Bandungan, di mana dapur dan kebun bukan sekadar tempat memasak, tetapi ruang untuk belajar hospitality, menghargai bahan, dan menyambut setiap tamu dengan hangat. Dari pengalaman itu, Erick menumbuhkan berbagai filosofi yang masih ia pegang hingga kini. 

Setelah sempat tinggal dan bekerja di Belanda, Erick kembali ke Indonesia dengan perspektif yang lebih luas. Kini, Stories in My Garden tidak hanya menjadi rumah dan pop-up dining, tetapi juga wadah untuk menghubungkan budaya, alam, dan manusia melalui makanan. Dalam interview ini, Erick berbagi cerita tentang perjalanan kulinernya, filosofi yang diwariskan sang Oma, pengalaman membangun pop-up lokal dan internasional, serta visinya untuk membawa Bandungan ke peta kuliner dunia.

Tamtam saat berkunjung ke Stories in My Garden | Foto: Dokumentasi Tamtam

Foto: Dokumentasi Timothy Erick

Tamtam (T): Erick, boleh perkenalkan diri?

Timothy Erick (TE): Saya Timothy Erick Susanto, lahir di kota kecil bernama Salatiga. Setelah itu, saya pindah ke Bandungan, tepatnya di Dusun Golak, Desa Kenteng, dan tumbuh besar di sana sampai SMA. Setelah lulus, saya kembali ke Salatiga, lalu melanjutkan kuliah di Bandung. Di Bandung inilah saya pertama kali bertemu Tamtam, dan sekarang, kita kembali bertemu dalam sesi wawancara ini.

T: Kediamanmu, Stories in My Garden, itu apa? Boleh ceritakan latar belakang namanya?

TE: Jadi, Stories in My Garden awalnya cuma laman media sosial untuk keluarga besar dan teman-teman yang datang ke rumah ini. Lama-lama, tanpa direncanakan, berkembang jadi pop-up dan private dining house yang sudah berjalan sejak 2019.

Dari dulu, rumah ini memang bukan sekadar tempat tinggal — lebih seperti function house. Sejak kecil, saya terbiasa melihat tamu datang silih berganti, entah tamu luar negeri yang datang mewawancarai Oma, atau keluarga dan teman-temannya yang mampir. Dari situ, tanpa sadar, saya dilatih untuk memahami arti hospitality, mulai dari membuat dan mengantar teh hangat untuk tamu, sampai memastikan mereka nyaman. Jadi, hospitality yang saya kenal bukan berasal dari industri, tapi dari budaya ramah tamah Indonesia yang saya bawa terus sampai sekarang di Stories in My Garden.

Foto: Dokumentasi Timothy Erick

T: Kemarin sempat kerja di Belanda, ya? Boleh ceritakan sedikit pengalamanmu?

TE: Iya, sedikit konteks, saya sempat bekerja di Belanda, tepatnya di restoran Spetters yang punya satu bintang Michelin, di kota Zeeland, selama setahun. Awalnya masa adaptasi terasa cukup tenang karena bertepatan dengan musim dingin; ritme kerja masih slow-paced dan santai. Tapi begitu masuk musim semi, restoran mulai ramai, dan jam kerja bisa sampai enam belas jam sehari. Saat itu saya pernah merasa sangat lelah, bahkan sempat menangis karena jauh dari keluarga dan harus menjalani semuanya sendirian.

Waktu musim panas tiba, Sous Chef di cold section mengundurkan diri, dan saya harus mengambil alih posisinya—menangani dessert dan amuse yang persiapannya luar biasa banyak. Di saat bersamaan, om saya meninggal, jadi saya harus mengatur waktu untuk cuti sambil tetap memikul tanggung jawab yang levelnya di atas kemampuan saya saat itu. Semua kejadian itu menumpuk, sampai saya merasa di titik paling lelah di dunia dapur. Tapi disitulah titik baliknya. Saya belajar mengenal batas diri, memahami arti profesionalisme, disiplin, dan tanggung jawab, serta bagaimana mengendalikan emosi di tengah tekanan yang tinggi.


T: Bagaimana pengalaman kerja di Belanda memengaruhi kamu sekarang?

TE: Pengalaman kerja di Belanda banyak mengubah cara pandang saya, bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga soal hidup. Tinggal jauh dari Indonesia membuat saya lebih menghargai hal-hal kecil yang dulu terasa biasa. Di sana, saya mulai kangen dengan hal-hal sederhana: sawah, sungai kecil, semangkuk soto, nasi padang, atau gudangan—hal-hal yang dulu nyaris tidak saya sadari maknanya.

Di sisi lain, karena saya bukan lahir di Eropa, saya justru bisa menikmati hal-hal yang bagi orang sana sudah jadi keseharian seperti kanal, bendungan, atau mollen. Dari situ saya belajar untuk tidak take things for granted, untuk lebih bersyukur, dan menemukan keseimbangan dalam menikmati dua dunia sekaligus.

Foto: Dokumentasi Timothy Erick

T: Lalu kenapa kamu balik ke Indonesia? Apakah ada alasan khusus yang bikin kamu selesai kerja di restoran Michelin-star dan kembali ke Bandungan?

TE: Awalnya rencana saya balik ke Indonesia cuma untuk menjelajahi ulang Nusantara. Waktu kerja di Spetters, banyak tamu yang begitu tahu saya dari Indonesia langsung bercerita dengan antusias tentang perjalanan mereka ke Sulawesi, Kalimantan, sampai Papua, betapa indahnya Indonesia di mata mereka. Sementara saya sendiri baru pernah ke Jawa, Bali, dan sekitarnya. Ada rasa malu juga, karena saya merasa tidak cukup mengenal negara saya sendiri, bahkan kalah jauh dari “bule-bule” yang sudah menjelajah lebih banyak.

Sejak itu, saya mulai menyusun bucket list perjalanan: ingin ke Alor, Kalimantan, NTT, dan beberapa sudah terlaksana. Tujuan besarnya sederhana—kalau nanti saya kembali bekerja di luar negeri, saya ingin bisa mewakili Indonesia dengan lebih baik. Awalnya saya hanya berencana pulang setahun untuk perjalanan itu, sambil menggunakan Stories in My Garden untuk membiayainya, sekaligus melihat sejauh apa tempat ini bisa berkembang kalau saya seriuskan. Tapi ternyata, di tahun 2024, Stories in My Garden justru tumbuh jauh di luar ekspektasi saya.

T: Kamu mau nggak bawa Stories in My Garden ke luar negeri? Atau pernah bikin pop-up dinner di Belanda?

TE: Saya cukup beruntung saat bekerja di Spetters tahun 2023. Setiap hari libur, teman-teman sering mengundang saya untuk masak di kota mereka, entah untuk makan bersama atau untuk keluarga mereka. Di momen-momen seperti itu, saya biasanya masak makanan Indonesia yang saya rindukan — jadi tanpa disadari, saya membuat semacam pop-up dinners kecil di beberapa kota di Belgia dan Belanda.

Untuk pop-up yang lebih serius, saya sempat berkolaborasi dengan Koffness the Bistro (Semarang), Spetters, dan Stories in My Garden, lewat acara bertajuk Stories in Zeeland yang diadakan di restoran tempat saya bekerja dulu. Tamu undangannya adalah sang chef, keluarganya, dan teman-teman mereka. Itu pengalaman yang menyenangkan, bisa mengolah masakan Indonesia dengan bahan-bahan yang sangat berbeda dari yang biasa kita temukan di sini. Misalnya, kami membuat ikan bumbu woku dengan dabu-dabu, tapi menggunakan sea bass, ikan yang sangat khas Belgia.

Hal-hal seperti ini yang selalu membuat saya bersemangat: memasak makanan Indonesia dengan bahan asing, berusaha membuatnya tetap otentik meski konteksnya berbeda. Karena di luar negeri, memang banyak yang menjual masakan Indonesia, tapi menemukan yang benar-benar proper dan dekat dengan cita rasa aslinya itu masih jarang. Saya ingin terus mengulang pengalaman semacam ini lagi dan lagi.

T: Bagaimana kamu melihat masa depan kamu sendiri dalam 5 tahun ke depan?

TE: Tujuan akhir saya tetap untuk menjadikan Bandungan sebagai base dari semua hal yang saya kerjakan. Saya ingin bisa membangun sesuatu di Indonesia selama setahun, lalu setahun berikutnya bekerja di restoran profesional di luar negeri — as a student of the craft — dan mengulang pola itu setiap tahun. Saya tidak ingin kehilangan wawasan dari dapur luar negeri yang lebih maju dari dapur di Bandungan, dan setiap kali kembali, saya ingin membawa sesuatu yang positif bagi masyarakat di sana.

Saya ingin Bandungan bisa meningkatkan standarnya di sektor hospitality, terutama F&B. Menurut saya, Bandungan sudah memiliki semua variabel untuk berkembang di bidang ini — hanya saja masih kekurangan pengawasan dan referensi yang baik. Dalam lima tahun ke depan, saya ingin Bandungan masuk dalam peta kuliner Indonesia. Mungkin visi ini terdengar besar, tapi inilah jalan yang sedang saya tempuh.

Foto: Dokumentasi Timothy Erick

T: Kalau ada satu pesan yang mau kamu sampaikan lewat Stories in My Garden, apa itu?

TE: Don’t be afraid to start something, bahkan kalau kamu tinggal di desa kecil atau belum punya peralatan canggih sekalipun. Mulailah dulu, perbaiki sambil jalan.

Stories in My Garden juga lahir dari dapur sederhana, hanya dengan satu kompor dan satu oven tangkring. Mungkin tantangan tiap orang berbeda, tapi jangan pernah takut untuk memulai.

Tamtam

Tamtam adalah seorang chef content creator (@tamtamvv), dimana ia memperkenalkan makanan tradisional nabati kepada audiens global.

Next
Next

Semangat Stef Wijono dari The Union Group