August: Jakarta’s Culinary Dream Team

Jika ada restoran yang bisa membawa dining scene Jakarta ke level yang baru, August salah satu yang berada di baris terdepan.

Dari kiri ke kanan: Budi Cahyadi, Ardika Dwitama, Miki Jocelyn, Yohanes Januardy dan Hans Christian. | Foto: Dokumentasi August.

Dari kiri ke kanan: Budi Cahyadi, Ardika Dwitama, Miki Jocelyn, Yohanes Januardy dan Hans Christian. | Foto: Dokumentasi August.

Oktober 2019 adalah lembaran baru untuk restoran bernama August. Restoran garapan duo Hans Christian dan Budi Cahyadi ini membuka private dining di Apartemen Verde Two, Kuningan, Jakarta Selatan. Rencananya, private dining ini akan menjadi wadah research and development sebelum membuka restoran di tahun 2020.

Kabar tentang August membawa semacam angin segar ke lanskap kuliner ibu kota. Bagaimana tidak, Hans Christian dan Budi Cahyadi punya latar belakang kuat di dunia food and beverages. Sebelum menjadi chef-owner, Hans Christian adalah head chef di View Restaurant & Bar di Fairmont Hotel Jakarta. Kemampuannya juga didukung latar belakang sarjana di bidang Culinary Nutrition and Food Science dari Johnson & Wales University, Amerika Serikat. Di sisi lain, Budi Cahyadi berpengalaman di bidang hospitality selama lebih dari 10 tahun di grup Mandarin Oriental Hotel London dan Jakarta. Ia juga berpengalaman menjadi director of operation di grup restoran Cassis selama tujuh tahun. Bukan hanya mereka berdua saja, Hans dan Budi paham betul kalau membangun sebuah restoran dengan standar yang sangat baik diperlukan tim yang solid dan unggul. Tidak berapa lama, food enthusiast dan dunia chef muda Jakarta mendapat surprise bahwa Ardika Dwitama, Jakarta’s very own “Prince of Pastry”, bergabung dengan August sebagai pastry chef mereka. Disusul dengan Yohanes Januardy dan Miki Jocelyn. Ardika sebelumnya pemilik Oui Dessert, sebuah pop-up dan private dessert initiative dengan pendekatan contemporary plated dessert.

Sayangnya, awal tahun 2020 tidak berjalan mulus. Pandemi Covid-19 menghantam keras industri food and beverages. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berlaku di Jakarta mulai bulan Maret 2020. Dampaknya, separuh pemasukan August rontok. Kapasitas private dining berkurang dari 12 orang ke enam orang. Rencana membuka restoran di tahun 2020 pun urung dilakukan. Private dining terpaksa molor hingga akhir tahun bahkan berubah menjadi operational core untuk August.

Kami menyambangi tim August di restoran pop-up mereka yang ada di Apartemen Verde Two. Hans Christian dan Budi Cahyadi bercerita tentang visi misi restoran dambaan mereka, August. Tidak hanya itu, kisahnya pun diselipi ide-ide menghadapi berbagai himpitan selama pandemi.

Apa visi misi besar dari restoran August ini?

Orang ke restoran pasti mau makan bukan? Itu yang paling penting. Kedua, mau cari pengalaman. Saya selalu merasa untuk great dining experience tidak mungkin hanya bisa dilakukan oleh front of house saja. Makanan juga sangat penting. Dining experience itu kalau dipecah bukan cuma makanan tapi juga semuanya dari service, dari makanan, dari detail, dari konsepnya, semuanya. Kita ingin sesuatu yang ada di Jakarta ini lebih tinggi standarnya tetapi bukan fine dining. Fine dining itu asosiasinya mahal, repot, dan tertalu “detail”. Kalau yang biasa ya sebaliknya tidak terlalu detail, tidak terlalu bagus service-nya. Nah, kita mau melawan stereotip yang bilang bahwa kalau ingin experience yang bagus harus di fine dining dan yang biasa saja ada di restoran yang bukan fine dining. (Budi Cahyadi/BC)

Apa yang harus dilakukan front of house untuk memaksimalkan dining experience?

Layanan yang bagus bukan seperti detail gelas dan alat makan dipoles semua tapi tidak ada interaksi dengan tamunya. Everyone that comes to August at least kita tahu namanya siapa, datangnya mau ngapain; kebutuhan anniversary atau anaknya ulang tahun. Saya merasa hal paling penting adalah membuat tamu merasa seperti diterima, benar-benar dijamu dengan hati. (BC)

Apakah chef juga harus punya connection dengan tamu?

Harus. Saya selalu memposisikan bahwa saya sebagai front of house ini membantu Hans untuk membuat August-nya sukses. Fundamental orang mau ke restoran itu cari makanan. Tapi ya balik lagi, kalau masakan enak, tapi tidak ada koneksi dengan pelanggan bisa bubar menurut saya. (BC)

Kita nggak memutuskan untuk kerja bareng karena saya nggak suka ke depan dan ngobrol sama tamu. Justru kebalikannya, karena saya sangat suka melakukan itu sejak saya di kerja di VIEW at Fairmont. Paling tidak, saya satu kali ke tiap meja untuk menjelaskan dan mengobrol dengan tamu. Makanya saya tahu betapa pentingnya to have a good connection

Kita berdua sama dalam hal koneksi itu penting. Budi will be the man in the dining room yang akan menyampaikan semua tentang tamu ke saya. Kami tahu rasanya datang ke restoran, makanan enak, but you feel like nobody. Dan kita mau bikin perasaan seperti when we come to August, kita tahu kita akan diurus karena kita tahu Budi and Hans gonna be there to take care of us. (Hans Christian/HC)

Untuk konsep makanannya sendiri August itu seperti apa?

Modern European with touch of Indonesia. Kalau kita bilangnya contemporary flavours. Rasa kontemporer dengan sentuhan Indonesia. Tapi kita juga punya tanggung jawab untuk membuat itu jadi pengalaman yang positif. Bukan berarti modern atau kontemporer atau fusion itu menjadi asal-asalan. Tetap perlu dasar di mana rasanya harus masuk akal dan penyusunan menunya masuk akal juga. (HC)

Posisi maitre’d adalah barang langka di Jakarta. Budi Cahyadi sebagai front of house dari August adalah sosok yang mengambil alih posisi tersebut sekaligus co-owner. | Foto: Dokumentasi Restaurant August (diambil sebelum pandemi)

Posisi maitre’d adalah barang langka di Jakarta. Budi Cahyadi sebagai front of house dari August adalah sosok yang mengambil alih posisi tersebut sekaligus co-owner. | Foto: Dokumentasi Restaurant August (diambil sebelum pandemi)

Bisa dijelaskan sentuhan Indonesianya seperti apa?

Jadi bisa ada dua ya. Bisa di penggunaan bahan baku atau hint of flavours. Contoh: Dari pada menggunakan sayuran dari luar negeri misalnya asparagus, kita coba gunakan bahan baku atau sayuran lokal yang punya tekstur serupa dengan asparagus. Contohnya kita punya kecipir atau wing beans. Jadi makanannya secara dasar tetap European tapi bahannya lokal. Atau hint of flavours, contohnya saya bikin kari atau butter sauce, beurre blanc. Classic French banget. Tapi saya infuse nggak cuma pakai mustard atau pepper. Tapi saya pakai sereh atau kecombrang. Jadi cukup untuk menjadikan sausnya berbeda dan kalau orang yang sudah pernah mencoba butter sauce dia merasakan kemiripan tapi berbeda. (HC)

Bagaimana proses Anda menciptakan kreasi masakan baru?

Prosesnya sebenarnya banyak. Ada banyak makanan yang dibuat dari memori: Memori pernah makan di mana, atau pernah bikin sebelumnya, atau pernah dibuatkan oleh orang lain. Dan kita berusaha untuk membuat ulang dari memori. Kami gunakan our palate or experience to recreate. Contohnya ada gurita pakai saus dari black olive. It is a good thing actually kalau kita nggak tahu resepnya. So we can do our own version. Jadi kira-kira kita mau rasanya seperti itu, asinnya segini, manisnya pakai madu. Akhirnya kita membuat sesuatu yang baru.

Atau ada juga masakan yang dibuat dari inspirasi dari budaya. Saya suka banget woku. Saya pengen coba bikin woku tapi kan ini bukan Indonesian restaurant, jadi saya tidak pernah menyebut woku sauce atau woku di hidangannya. Karena orang akan menganggap ini woku dan itu akan berbahaya karena orang akan kan mulai membandingkan makanan ini dengan woku aslinya. Jadi saya selalu bilang ini flavour of woku atau inspired by woku.

Jadi misalnya kita bikin bumbu dasar essence dari woku seperti bawang merah, cabe, segala macam. Atau kari misalnya. Jadi curry base tapi daripada kita emulsify pake santan jadi klasik banget. Kita emulsify pakai brown butter jadi fifty-fifty. Jadi seperti hollandaise atau butter sauce tapi so much flavorful karena pakai bumbu dasar Indonesia. (HC)

Makanan di August menggunakan pendekatan kontemporer. | Foto: Dokumentasi Restaurant August.

Makanan di August menggunakan pendekatan kontemporer. | Foto: Dokumentasi Restaurant August.

Dari segi desain interior restoran, desain seperti apa yang akan diterapkan? Ada cutlery khusus?

Kita ingin menjauhkan sesuatu yang bisa mengintimidasi tamu. Contoh fine dining itu kan bersih, taplak meja putih, table setting ramai banget, dan ada gelas wine. Kita akan lebih ke modern and rustic. Wooden table without table cloth. Dan piringnya nggak putih. Pasti ada yang putih tapi tidak akan white porcelain. (HC)

Contohnya ya, di restoran fine dining biasanya tamu datang ke meja sudah ramai. Cutlery-nya ada tiga dari kiri ke kanan. Lalu gelasnya ada tiga lagi. Orang datang saja sudah bingung, ini mulai nya dari mana? Itu kalau fine dining. (BC)

Selain Anda berdua, Ardika Dwitama juga bergabung sebagai pastry chef. Lalu, ada Yohanes Januardy dan Miki Yocelyn. Apakah ini dream team?

Core team lebih tepatnya. (BC)

Dream team untuk kita. (HC).

Core team ini berperan penting untuk membuat budaya restoran untuk ke depannya. Karena budaya, karakter, dan visi sudah ditanamkan selama setahun ke belakang.

Perubahan besar apa saja yang terjadi akibat pandemi Covid-19? Selain private dining sempat terhenti dan molor hingga akhir tahun.

Di September, yang terjadi adalah karena kepepet dan kita tidak bisa berharap menunggu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selesainya kapan. Dan untuk alasan yang sama kami tidak bisa untuk hard selling. Jadi kami beralih ke delivery service. Walaupun tidak bisa semua makanan August bisa dibuat untuk delivery. Karena kita juga butuh bertahan. (BC)

Dan kita mulai dari our signature dish yang orang sudah bisa relate, dan kita juga percaya diri dengan rasanya (untuk delivery). Foie gras peanut butter and jelly juga kita buat kit-nya, jadi orang bisa racik sendiri di rumah. (HC)

Setelah delivery service berjalan, pelanggan ada bilang, “Saya mau makan-makanan kamu, tapi saya nggak mau datang ke tempat kamu.” Memang super ribet. Apalagi karena sumber daya kami itu kecil dan logistiknya sedikit. Tapi akhirnya, kita lihat ternyata permintaannya ada untuk membuat private catering at home. Kita sesuaikan biayanya karena untuk kenyamanan mereka juga di rumah ya, termasuk seperti kebutuhan alat-alat dasar seperti kriteria kompor nya seperti apa dan kulkas untuk simpan bahan-bahan. (BC)

Apa blessing in disguise yang diperoleh dari kondisi ini?

Ini (private dining) membantu dari segi database. Kita punya friends of August. Jadi ketika kami nanti bisa buka restoran, maka banyak orang yang sudah mengantisipasi. Jadi tidak mulai dari nol lagi. Kalau dari menu, itu sangat berpengaruh karena ini sebenarnya seperti setahun berpikir, kurasi menu, dan selama setahun penuh. (HC)

Mudah-mudahan di akhir bulan ini kita mulai untuk pembangunan lagi. Jadi, Mei atau Juni (tahun 2021) kita sudah mulai buka yang layak sekali pun ini pandemi. Karena kenyataannya ingin recovery. Tapi karena kami tidak bisa mengakomodasi jumlah yang kecil jadi kami memutuskan untuk membuka restoran agar bisa ada meja dan bisa menerapkan physical distancing bagi tamu yang nantinya akan datang (BC)



Untuk informasi lebih lanjut mengenai Restaurant August, kunjungi Instagram mereka di @august_jkt

Alif Hudanto

Food journalist yang tidak kuat makan pedas. Baginya, mie adalah kenikmatan duniawi yang hakiki.

Previous
Previous

Rui Yamagishi Excites Jakartans with His Cooking and Charisma at Acta Brasserie

Next
Next

Mengenal Tirta Lie dan Cintanya Terhadap Bakmi