Semangat Dokumentaria Berselera Mengarsip Kuliner Indonesia Lewat Lensa, Kata, dan Sketsa
Dokumentaria Berselera memadukan narasi dan visual untuk mengenalkan RM Surya kepada generasi baru lewat karya perdana mereka, RM Surya Tak Pernah Tenggelam.
Tim Dokumentaria Berselera: Reno Andamsuri, Jeremiah Michael, Nugraha Pratama, dan Dwinarosa Allamanda (kiri ke kanan) | Foto: Feastin’
Jakarta adalah simfoni rasa dari berbagai penjuru, baik rumah makan maupun restoran di gedung pencakar langit, sama-sama menyajikan kisah yang patut dirayakan.
Selama lebih dari enam dekade, RM Surya berdiri teguh. Dimulai dari Pasar Barat no. 14B di Jatinegara, rumah makan ini pernah menjadi titik temu para perantau yang mencari cita rasa kampung halaman. Kini di Bendungan Hilir, RM Surya terus hidup dalam ingatan dan kebiasaan — dikenal oleh generasi lama, dan dikenalkan kepada yang muda lewat warisan cerita, ajakan teman, hingga obrolan meja kantor.
Dokumentaria Berselera hadir dari semangat mengarsipkan kekayaan kuliner Indonesia — memadukan narasi dan visual untuk mengenalkan RM Surya kepada generasi baru lewat karya perdana mereka, RM Surya Tak Pernah Tenggelam, dengan pendekatan yang segar dan kontemporer. Feastin’ berkesempatan berbincang dengan keempat sosok di balik inisiatif ini: mulai dari kisah kelahirannya, proses kreatif dan riset yang mendalam, nilai-nilai yang mereka pegang teguh, hingga pandangan mereka terhadap arah baru storytelling kuliner di Indonesia.
‘RM Surya Tak Pernah Tenggelam’ diterbitkan oleh Binatang Press | Foto: Feastin’
Feastin’ (F’): Bisa diceritakan awal mula lahirnya Dokumentaria Berselera? Apa yang menjadi motivasi di balik proyek ini?
Nugraha Pratama (NP): Awalnya karena Mike (Jeremiah Michael, fotografer Dokumentaria Berselera) mau bikin zine bareng Uni (Reno Andamsuri, penulis dan peneliti kuliner Minang yang menulis di Dokumentaria Berselera).
Jeremiah Michael (JM): Betul, waktu itu idenya memang mau ngangkat suatu restoran secara detil, dari awal sampe akhir, dari ke pasar sampe udah jadi produknya. Tapi sebenernya kalo ditarik lebih jauh, awal mulanya sekali pas Januari 2023, pas kami berempat bareng Kaum dan Tastemade Indonesia pergi ke Sumatera Barat.
Reno Andamsuri (RA): Kita ngumpul di acara Kaum dan kita bikin buku untuk acara Kaum, judulnya ‘HEI MINANG!’. Abis itu, kita mulai mencar-mencar dan pas ketemu lagi, baru deh masuk ke pembahasan pengen bikin zine dan dari situ prosesnya dimulai.
F’: Kenapa memilih nama “Dokumentaria Berselera”? Apa makna di baliknya?
RA: Pertama, pinginnya ada sesuatu pastinya ada namanya ya. Gue personally menghindari sebuah merek atau nama yang menggunakan kata ‘rasa’ karena menurut gue udah cukup common. Core kita juga sebenarnya kan mendokumentasikan juga, sehingga akhirnya gue waktu itu usul bagaimana kalau ‘Dokumentaria’, sambil bersuka ria tapi dokumentasi yang menimbulkan selera. Jadi ‘Dokumentaria Berselera’
F’: Seperti apa proses kreatif di balik pembuatan buku pertama yang dipublikasikan? Dari pemilihan tempat dari riset, penulisan narasi, sampai visual?
NP: Mungkin pertama, kenapa RM Surya dan kenapa ngangkat makanan Padang? Ini lebih ke kita nyari aman di awal, karena sebelumnya kita tur ke Padang bareng-bareng dan bikin buku tentang restoran Minang juga, terus untuk synchronizing-nya, jadinya yuk kita bahas makanan Padang yang ada di Jakarta dan bisa dibilang, menjadi salah satu staple food orang Jakarta; kita semua hampir dipastiin pernah makan. Nah, salah satu restoran yang mewakili kebutuhan kita, restoran yang sudah legend dari dulu sampai sekarang, jualannya bisa dibilang itu-itu aja, sistem dapur dan sistem finansialnya enggak berubah, salah satunya RM Surya. Jadi akhirnya kami merekap semua yang ingin kita ketahui tentang restoran Padang di Jakarta ini ke RM Surya.
Dwinarosa Allamanda (DA): Tapi sebelumnya Uni sebenarnya udah pedekete duluan juga. Awalnya Uni udah lebih dulu riset.
RA: Di tahun yang sama, gue diminta jadi narasumber Channel News Asia, dari situ gue mulai kenal sama founder-nya, chef owner-nya. Buat gue, itu udah 30% langkah bisa masuk. Ditambah, diberi ijin untuk melihat dapurnya, dimana itu sesuatu hal yang di Jakarta udah cukup sulit sebetulnya karena mereka kan pasti menjaga dapur mereka. Gue share ke Mike kalau gue lagi masuk ke RM Surya pas dia ngajak bikin zine. Dari situ, bilang ke Aga kalau ini tuh menarik banget, apalagi RM Surya itu salah satu RM Padang tertua di Jakarta. Jadi kalau disebut 5 yang tertua di Jakarta, secara tahun, dia yang kedua terdua dan termasuk yang banyak penggemarnya. Masuklah kita ke RM Surya dan ternyata kisahnya menarik: Mulai dari kisah dapurnya, kisah owner-nya, kisah RM Padang sendiri di Jakarta, begitu menarik.
F’: Part yang paling berkesan saat pembuatan buku pertama?
JM: Dari awal dateng udah ada bahan-bahan prep-nya, proses-prosesnya kayak ngeliat daging segitu banyaknya, kemudian ngeliat perbedaan dapur di atas dan di bawah
RA: Yang pasti ketemu orang-orangnya, terus kalau denger mereka cerita, gimana mereka setia bekerja di sana, gimana hubungan antara pemilik dan pekerja bahwa mereka menggunakan sistem manajemen keuangan bernama ‘Mato’. Perjuangan sampai 65 tahun, sekarang dipegang sama generasi ketiga pergerakannya seperti apa, lebih ke cerita-cerita di balik orangnya. Rata-rata, udah 30 tahun kerja di sana, mereka pensiun kalau mereka udah enggak sanggup secara fisik, sampe sakit.
DA: Kalau aku sendiri, banyak keunikan seperti menggunakan bahan yang ada. Misalnya, mau ngebungkus makanan kan dia pakai kertas dan daun pisang, nah karena kertasnya itu numpuk, Bapaknya (pegawai RM Surya) pake ketimun untuk melincinkan tangannya. Di saat, kan timun memang ada di RM dan bahan sehari-hari juga. Ditambah lagi, cara mereka menyusun piring itu ilmunya pake piring itu sendiri. Enggak perlu pake pengukur dan hal lain, jadi memang apa yang ada di sana, mereka pake untuk mempersiapkan apapun yang ada di RM. Menurut aku, itu sangat cerdas. Fun fact-nya banyak dan sustainability-nya itu keren banget!
RA: Kita dari jam 4.30 pagi udah nongkrong di sana, sampe akhirnya mereka buka jam 12 dan mulai tamu dateng, kita mengamati prosesnya dan takjub. Kalau bisa kasih bocoran nih satu dari buku ini, kalau mereka masak ikan biasanya kan dikasih jeruk nipis supaya enggak bau amis, apa yang mereka lakukan? Mereka kumpulin itu jeruk peres, kalau di bawah pada pesen jeruk peres, kan kulitnya ngumpul tuh, masih ada sarinya dan dipake buat ngerendam ikannya.
NP: Gue tuh selalu makan makanan dari RM Padang dan udah jadi keseharian, tapi gue enggak pernah melihat sedalam itu ketika akhirnya gue sama Uni, Wina, dan Mike bikin buku ini. Termasuk sistem yang tadi Mike bilang soal preparasi, persiapan dari subuh masak, sampai sistem gajiannya mereka yang tadi Uni sempat bilang dengan sistem ‘Mato’. Hampir setiap detil yang ada di RM hal baru yang gue temuin.
DA: Bahkan denah aja diatur, gimana caranya biar yang masak enggak tabrakan, pas preparasi, dan pas service misalnya.
F’: Bagaimana tim Dokumentaria Berselera melihat perkembangan storytelling di dunia kuliner Indonesia saat ini?
NP: Storytelling menjadi hal yang menarik buat banyak orang, terlebih Jakarta sekarang banyak sekali tempat yang mengangkat hidangan dari daerah tertentu seperti Manado, Minang pun ada Padang, Bukittinggi dengan perbedaaan yang ada pun muncul ketertarikan orang terhadap hidangan dari berbagai daerah. Ditambah lagi, makanan dari masing-masing daerah ini punya cerita masing-masing. Cerita tersebut bisa membangun atmosfer saat mereka lagi makan. Buat gue sendiri, storytelling jadi penting karena seiring perkembangan teknologi, perkembangan zaman, mungkin rendang yang hari ini kita lihat, 20 tahun lagi bentuknya berbeda… tapi secara storytelling, kita jangan lupain core-core untuk bikin rendang kayak gimana. Selain buat hari ini, bisa buat masa depan.
F’: Nilai-nilai apa yang ingin selalu dijaga dalam setiap karya Dokumentaria Berselera?
DA: Suatu restoran atau tempat makan yang sustain dari awal sampai akhir, soalnya kalau kita lihat sekarang, banyak restoran dan tempat makan yang bertahan kurang dari 5 tahun.
NP: Melalui Dokumentaria Berselera, gue pengen punya sudut pandang dari orang Jakarta yang jadi melting pot banyak budaya makan. Dari sudut pandang ini, gue pengen preserve gimana RM Padang ini hidup dan berkembang di tempat tinggal gue.
RA: Dokumentaria Berselera core-nya adalah resourceful, sehingga sebisa mungkin yang kita hadirkan, risetnya bisa dipertanggungjawabkan. Jadi enggak asal ambil di internet, asal comot dimana, sebisa mungkin kami ketemu dengan tangan pertama atau kedua.. Sehingga ketika kami mendokumentasikan itu jadi suatu karya, orang merasa ini bisa dipercaya.
F’: Berapa lama proses riset tim Dokumentaria Berselera di RM Surya?
DA: Start foto-foto April, tapi kalau riset di RM Surya dari Januari ke April, ketemu publisher kita, Binatang Press di bulan Agustus.
RA: Risetnya juga dicicil, jadi kita dateng berkali-kali untuk wawancara misalnya, nunggu mereka enggak sibuk juga.
F’: Apa harapan atau rencana jangka panjang untuk platform ini?
NP: Gue pengen banget untuk bisa merangkum makanan-makanan yang menjadi staple food kita, nanti selain nasi padang, ada yang lain. Kopi mungkin yang biasa orang Jakarta minum? Roti-rotian, warteg, atau soto, harapannya dari Dokumentaria Berselera kita bisa kasih sudut pandang tentang makanan dan minuman itu melalui restoran yang menurut kita bisa jadikan narasumber.
DA: Kita pastinya juga harapannya tempatnya bisa sustain.
NP: Dan ada regenerasinya, itu penting banget.
RA: Kami berusaha menjadi bagian dari gerakan untuk mendokumentasikan.
NP: Kalau di buku ini kan sebenernya objeknya kan makanan khas Minangkabau, dan subjeknya berupa RM-nya, dimana template-nya sebetulnya mirip sama RM sejenis.
RA: Dan juga kenapa akhirnya pemilihan warnanya warna-warni, kenapa akhirnya nge-pop seperti itu, karena kita berpikir target kita anak muda sekarang. Kita enggak bisa mikir yang tua-tua nih, mereka udah penuh dengan ilmu pengetahuannya, tapi anak muda yang harus diisi. Isinya gimana? Dengan gaya mereka!
F’: Apa pesan kalian untuk orang-orang yang ingin mulai mendokumentasikan dunia kuliner?
JM: Mulai aja! Kalau enggak mulai, enggak pernah tau sih.
Buku ‘RM Surya Tak Pernah Tenggelam’ dapat dibeli di website resmi Binatang Press dan melalui akun Tokopedia Binatang Press.