Stop Bilang, “Membawa Masakan Indonesia Naik Kelas.”

Sadarkah kita kalau narasi “Masakan Indonesia Naik Kelas” sebetulnya merendahkan status kuliner Indonesia di mata bangsanya sendiri?

Masakan tradisional Indonesia bisa juga ditampilkan dengan cara kontemporer dan modern adalah narasi yang lebih tepat dibandingkan membawanya naik kelas. Seperti ini, martabak telur yang diolah dengan gaya kontemporer oleh chef Rui Yamagishi di rest…

Masakan tradisional Indonesia bisa juga ditampilkan dengan cara kontemporer dan modern adalah narasi yang lebih tepat dibandingkan membawanya naik kelas. Seperti ini, martabak telur yang diolah dengan gaya kontemporer oleh chef Rui Yamagishi di restoran Acta Brasserie, menunjukkan kalau jajanan tradisional bisa juga dinikmati di restoran. | Foto: FEASTIN’

Semenjak saya terjun ke dalam dunia kuliner satu dekade lalu, sebagai anak muda yang baru saja melek akan potensi kuliner Indonesia, status chef yang kala itu diagung-agungkan lebih dahsyat dari selebritas manapun, saya – sebagaimana banyak pelaku kuliner lainnya – punya satu misi: Yaitu ingin membawa kuliner Indonesia bisa naik kelas. Namun baru sekarang ini saya sadari bahwa betapa kelirunya pola pikir tersebut.

Saya yakin seratus persen kalau semangat tersebut pasti punya landasan yang baik. Ingin membuat masakan tradisional semakin dikenal bangsa lain; kerinduan akan melihat restoran Indonesia sama populernya dengan restoran Malaysia atau Thailand di negara-negara Barat, dan lain sebagainya. Keinginan untuk mengenalkan kekayaan kearifan lokal selalu jadi salah satu goal utama negara-negara dengan tradisi budaya yang amat tinggi, terutama masyarakat Asia. Mulai dari pakaian, kerajinan, hingga tarian dan makanan.

Akhirnya sejak lama, sebuah narasi digaungkan entah oleh pelaku kuliner dalam negeri atau pun melalui diplomasi kuliner Indonesia di negara lain, yaitu keinginan untuk membawa kuliner Indonesia naik kelas. Pertanyaan saya: Sejak kapan kuliner Indonesia ada di kelas bawah? Siapa yang awalnya punya pemikiran bahwa masakan Indonesia itu seakan punya derajat yang lebih rendah dari masakan negara-negara lain termasuk negara Barat?

Problematika cultural cringe selalu jadi masalah terselubung yang ada di masyarakat kita, terutama terhadap negara-negara Barat. Cultural cringe sendiri dicetuskan oleh penulis A.A Phillips di Australia tentang inferiority complex di mana seseorang merasa kultur negara lain lebih baik dari negaranya sendiri. Biasanya hal ini terjadi pada masyarakat bekas kolonialisme. Akrabkah kalian dengan warga lokal di sekitar kompleks wisata candi yang kerap minta foto dengan bule? Atau cerita terjadinya perbedaan kualitas pelayanan dari sebuah hospitality outlet kepada warga lokal dan kaum caucasian? Walau tidak berhubungan langsung, saya rasa permasalahan merasa kultur kita lebih rendah dari negara lain punya andil besar dalam lahirnya pemikiran sebagian orang kalau makanan Indonesia tidak “satu level” makanan negara asing. Berbahayanya, dari cultural cringe seseorang bisa menganut paham xenosentrisme yang akan langsung berdampak pada konsumsi produk kreasi lokal.

Tentu saja ini bisa terjadi karena pola pikir yang salah. Kita bicara soal makanan – yang adalah bagian dari prinsip budaya – namun merasa lebih rendah karena melihat negara lain yang secara ekonomi lebih digdaya, atau kaitan kelas sosial manusia yang mengkonsumsinya. Selama ini, kita melihat bahwa rumput tetangga lebih hijau dari segi ekonomi maupun kualitas hidup masyarakatnya (sebagian memang betul), namun tanpa disadari kita jadinya ikut-ikutan menganggap budaya mereka lebih baik dari budaya negeri sendiri.

Padahal bila kita kembali ke konteks awal – yaitu budaya –  justru bukahkah bisa dibilang Indonesia lebih diberkahi dari segi ragam budayanya, termasuk makanan? Tapi sekali lagi, siapa kita bisa menilai sebuah kearifan lokal dan budaya suatu tempat lebih baik dari yang satunya? Semua produk budaya punya keindahan dan kebaikan masing-masing, tidak bisa dianggap yang satu lebih baik dari yang lain – atau dalam kasus masakan Indonesia yang saya bahas – yang satu dianggap ada di kelas bawah dan yang satu di kelas atas.

Maka dari itu, mari kita mulai untuk berhenti melihat rendah positioning masakan kita dengan masakan negara lain. Mungkin selama ini kita sendiri yang berkontribusi untuk memunculkan stigma tersebut di masyarakat dunia karena ketidakpercayaan diri yang terpancar saat menyajikan masakan tradisional. Kalau kita bisa melihat produk budaya Nusantara lain seperti seni tari, seni pahat, hingga seni busana tanpa embel-embel inferioritas, mengapa kita melihat masakan Indonesia dari kacamata itu?

Artikel ini adalah bentuk opini editorial.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

5 Things We Hope for In 2021

Next
Next

Let’s Celebrate New Year’s Eve (At Home)