Revisiting the Legends: Kikugawa

Kikugawa masih berdiri selama 68 tahun di tengah ramainya restoran dan cafe Jepang modern.

Kikugawa+2.jpg

Saya berdiri di pinggir jalan kecil Cikini IV, dengan langit Jakarta yang mendung. Celingak celinguk, penasaran kenapa parkiran rumah dengan fasad Jepang ini tak ada mobil. Pak satpam memberikan senyum, "Silakan mas," pertanda restoran ini rupanya masih buka.

Di sinilah saya, melangkah di atas jembatan kayu pendek melengkung, sedikit menundukkan kepala, untuk memasuki pintu Kikugawa, salah satu dari restoran Jepang pertama di Ibukota. Wanginya khas, kayu dan bambu, sedikit mengingatkan dengan aroma rumah lama yang penuh nostalgia. Sebetulnya apa yang membuat saya kembali lagi ke sini? Kami dari Feastin’ yakin kalau terkadang kita perlu mengunjungi kembali restoran atau rumah makan yang tergolong legendaris. Setidaknya kami ingin kasih informasi kepada pembaca tentang keberadaan mereka sekarang, bahwa mereka masih hadir di tengah-tengah dominasi restoran modern.

Di kursi kayu itu saya duduk, kembali mengingat-ingat kapan terakhir kali berkunjung kemari. Namun ada satu hal yang berubah: tidak ada lagi kimono. Dahulu apabila kamu datang ke Kikugawa, waiters berbalut kimono akan melayani. Mereka masih cekatan, pembawaan masih positif, bukan seperti pegawai restoran yang beraura mati segan hidup tak mau. Saya cukup kagum dengan Kikugawa ini. Interior walaupun tidak diubah namun masih terawat. Lantai batu kali yang agak gelap mengkilap memberi kesan dingin tetap dipakai.

Satu persatu tamu berdatangan untuk makan siang, kebanyakan pekerja kantoran.Rasa penasaran pun timbul kembali, apa mungkin masakan di restoran yang sudah berdiri 50 tahun ini masih cukup prima sehingga masih banyak tamu yang berdatangan. Seakan bisa membaca pikiran saya, sekejap satu set chicken teriyaki dengan gindara teriyaki hadir bersama dengan yakitori ayam.

Saya tersenyum kecil ketika wangi teriyaki yang manis dan legit itu semilir di depan wajah, familiar. Gindara teriyaki dimasak cukup baik walau bisa sedikit dikurangi waktu memasaknya agar tetap lembut. Teriyaki ayam yang dibalur dengan tepung cukup tipis dan digoreng baik, tidak soggy. Namun penggunaan dada ayam alih-alih paha sepertinya kurang tepat dikarenakan paha ayam memiliki tekstur lebih membal yang pas bila dipadukan dengan renyahnya kulit. Tapi untuk saus teriyaki sendiri cukup baik dan berhasil memunculkan rasa nostalgia, entah itu yang digunakan oleh gindara atau pun yakitori ayam.

Sambil menggigiti daging paha ayam yang berselang seling dengan daun bawang yang telah terpanggang hingga manis, saya mencoba membayangkan di masa itu saat restoran ini baru buka. Bagaimana respon masyarakat Jakarta dengan restoran Jepang seperti ini? Pahamkah apa yang harus dipesan? Siapa saja yang datang saat itu? Dan lain sebagainya. Menarik ya, makan di sini justru bikin imajinasi bermain kencang menembus batas waktu. Karena yang saya lakukan di Kikugawa, yaitu makan, juga dilakukan oleh kakek nenek kita di masa itu. Pertanyaannya, apakah masih sempat generasi berikutnya merasakan duduk di sini, di bawah plafon pendek, melihat-lihat lukisan Jepang yang kecil-kecil digantungkan di sekitar ruangan, mencicipi rasa teriyaki klasik Kikugawa.

Bagi saya, Kikugawa memang tidak dapat dibilang sebagai yang terbaik di Jakarta. Namun sebagai tempat makan, terbaik bukanlah keharusan untuk bisa menjadi favorit. Eksistensinya selama 50 tahun menunjukkan ada banyak faktor yang bisa membuatnya bertahan. Mungkin kalau kamu ingin sushi moriawase atau nigiri yang cermat Kikugawa bukan tempatnya. Tapi kalau yang kamu cari adalah masakan Jepang yang familiar, tidak neko-neko, Kikugawa bisa jadi tepat. Lagipula setelah akhirnya berkesempatan untuk makan di sini lagi, saya dapat melihat dalam waktu ke depan akan mampir lagi entah itu untuk gyoza salmon atau sepaket gindara teriyaki.

KIKUGAWA

Jalan Cikini IV No.13, Jakarta Pusat (021) 3150668

Menu Rekomendasi:

Yakitori ayam, teriyaki set dan salmon gyoza

Detial Lainnya:

Ramah keluarga, tidak memiliki private room namun bisa untuk acara tertutup


Revisiting The Legends adalah seri di kolom Eating Out di mana kami mendatangi kembali tempat makan ikonik dan legendaris demi mendapatkan perspektif baru.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Lunch For my Husband, Sandwich yang Dibuat dengan Cerdas

Next
Next

No Feast Lasts Forever, Au Revoir Emilie!