RM Rinai Pambasuah Luko: Mencari Dendeng Batokok di Antara Pasar dan Rusun

Biasa menjadi bintang utama, di RM Rinai Pambasuah Luko yang berada di lantai 3 Pasar Rumput ini, kamu tidak akan menemukan rendang.

Suasana di RM Rinai Pambasuah Luko | Foto: Sharima Umaya

Sudah lama Pasar Rumput tampil dengan wajah barunya dan kini berdiri berdampingan dengan Rusun. Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, saya turun di depan halte Transjakarta dan mulai mencari pintu masuk pasar.

Waktu menunjukan pukul 11 siang. Aktivitas pasar belum terlalu ramai, meski semilir suara dari kios-kios berbagai rupa sesekali terdengar. Saya menyusuri lorong demi lorong, dari kios bumbu dapur, alat tulis, hingga penjual seragam sekolah. Seingat saya, RM Rinai Pambasuah Luko berada di lantai 3. Tangga menuju lantai 2 mudah ditemukan, tapi begitu sampai di lantai tersebut, saya justru kebingungan mencari akses lanjutan ke lantai 3.

“Permisi, Pak. Lantai 3 yang banyak rumah makannya ada di mana ya?” tanya saya. Seorang bapak paruh baya menunjuk sambil berkata, “Belok kiri sampai ujung, lalu naik lift, Mbak.”

Dari gesturnya, saya tersenyum kecil; betapa jarang saya bertanya langsung kepada orang. Aplikasi peta membuat interaksi-interaksi seperti ini semakin langka. Saat saya memutar badan, si bapak masih memperhatikan saya. Melihat saya tetap kebingungan, ia kembali berseru, “Beloknya yang situ, Mbak!”

Saya menyusuri deretan tukang jahit dan pedagang yang tengah beristirahat bermain gaplek. Lift membawa saya ke lantai 3, tempat deretan rumah makan dengan aroma sedap langsung menyapa.

Tak sulit menemukan RM Rinai Pambasuah Luko. Hanya beberapa langkah dari lift, spanduk merah jingga sudah terlihat. Saat mengintip etalase, saya tidak menemukan dendeng batokok yang sudah lama ingin saya coba. “Mungkin disimpan” pikir saya.

Pengunjung RM Rinai Pambasuah Luko | Foto: Sharima Umaya

Saya memilih duduk di area luar yang terhubung dengan akses ke Rusun. Dinding Rusun yang berwarna kuning bercampur hijau muda terbentang di depan mata. Pelanggan mulai berdatangan dengan wajah lapar.

Tak lama, Reno Andam Suri – Uni Reno – datang sambil melambaikan tangan. Kami memang berjanjian makan siang di sini. Uni Reno yang sudah akrab dengan tempat ini berbincang sebentar dengan juru masak di etalase. Pemilik RM Rinai Pambasuah Luko berasal dari Solok. Di sini, ragam lauk pauk ala Solok tersedia; bukan rendang atau ayam pop yang jadi andalan, melainkan dendeng batokok.

Seporsi nasi tersaji dengan gulai kubis, kacang panjang, sambal jengkol | Foto: Sharima Umaya

Pesanan nasi datang dengan gulai kubis campur kacang panjang serta sambal jengkol. Ketika sepiring dendeng batokok akhirnya hadir, antisipasi saya memuncak. Daging sapi bakar yang sedikit kering, taburan irisan bawang merah, dan sambal hijau dengan potongan tomat hijau tersaji menggoda. Harum minyak kelapa sebagai sentuhan akhir langsung menyeruak. Nasi di sini pera, sepertinya memakai beras Solok yang memang berkarakter demikian. Gulainya ringan, tidak bersantan, dengan tekstur sayur yang renyah.

Sajian khas yang dinanti: Dendeng Batokok | Foto: Sharima Umaya

Tiba saatnya gigitan pertama yang saya nanti-nanti.

“Rim, coba gak pakai nasi dulu!” ujar Uni Reno. Saya menuruti. Dendeng, irisan bawang, dan sambal hijau saya satukan dalam satu suapan. Dendengnya gurih dan empuk, sambal hijau dengan sentuhan tomat hijau memberi kesegaran, sementara bawang merah menambah kedalaman rasa. Sedap!

Gulai gajeboh yang unik, tidak dimasak asam padeh seperti yang saya tahu | Foto: Sharima Umaya

“Mau gulai gajeboh?” tawarnya. Tentu saya mengangguk. Gulai gajeboh memang jarang muncul di rumah makan pada umumnya. Semangkuk gulai kekuningan yang tampak encer hadir di meja dengan tetelan yang sebagian masih menempel pada lemak. Uni Reno yang hendak merekam video kemudian meminta saya menuang kuah keatas gajeboh. Kuahnya mengingatkan saya sedikit pada soto: ringan, tapi cocok bersatu dengan gajeboh yang lembut saat digigit.

Sambil mengamati interaksi pengunjung dan penghuni kios di pasar semi-rusun ini, saya kembali termenung. Jakarta sungguh magis: setiap sisinya selalu punya kejutan. Tidak terlalu jauh dari Menteng – wilayah dengan harga tanah yang tak masuk akal – terdapat keajaiban kecil di sudut pasar yang telah berdiri sejak 1910-an ini, yang dulu bahkan menjual rumput untuk kuda. Jakarta, dengan segala kontrasnya, selalu menyisakan ruang kecil yang mengejutkan, asal kita mau melihat ke arah yang berbeda.

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business Partnerships & Editorial Strategist di Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, ia selalu memulai hari dengan iced latte & tak pernah bisa menolak kelezatan hidangan Jepang.

Next
Next

Mie Celor 6D, Sepetak Rasa Palembang di Melawai